PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN UNTUK MENCIPTAKAN
DUNIA USAHA YANG KONDUSIF
A. Strategi Meningkatkan Pemahaman Aspek Hubungan Industrial
Sebagaimana kita ketahui bahwa globalisasi telah membawa dampak terhadap pergeseran sistem tata nilai yang dianut oleh masyaraakat. Sistem tata nilai yang didukung oleh akselerasi perkembangan IPTEK telah menempatkan kita pada posisi yang mau tidak mau, suka tidak suka dan siap atau tidak siap harus melakukan perubahan dan penyesuaian. Karena tidak ada satupun negara di belahan dunia ini yang menutup diri terhadap penetrasi faktor eksternal yang didorong oleh derasnya arus informasi teknologi, sehingga batas-batas antar negara baik secara fisik, ekonomi, politik, sosial maupun budaya semakin pudar. Sementara itu, perubahan yang sangat signifikan terjadi pada pola hubungan dalam dunia bisnis yang berbasis pasar baik pada skala lokal, regional maupun internasional yang menyebabkan tajamnya tikat kompetisi. Perubahan tersebut sangat dirasakan dampaknya dalam Hubungan Industrial. Tuntutan universal yang lebih didominasi oleh alasan kemanusiaan seperti; alasan demokrasi, hak azasi manusia dan lingkungan hidup yang semakin inten. Dengan demikian perlu peningkatan efektivitas pelaksanaan Hubungan Industrial agar lebih merangsang investasi serta membuka kesempatan kerja dan mampu memberikan kontribusi terhadap pemulihan kondisi ekonomi dan politik.
Perubahan lingkungan strategis di satu sisi mendorong intensitas kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengusaha, tetapi pada sisi lain membawa perubahan paradigma bisnis yang mengarah pada kebijakan efisiensi karena kompleksitas permasalah ketenagakerjaan. Sejalan dengan kebijakan OTODA, maka secara operasional tugas-tugas dan kewenangan ketenagakerjaan menjadi milik pemerintah daerah. Dengan demikian, konsep sistem Hubungan Industrial harus mampu memberikan panduan bagi pemecahan masalah sektoral daerah.
Secara tipikal, pola hibungan industrial dapat dikelompokkan melalui 2 [dua] pendekatan yaitu engineering approaches dan behavioral approaches. Di era global ini, keberhasilan perusahaan baik dalam persaingan internal maupun eksternal perlu membangun budaya korporasi dengan basis hubungan egaliter antar pemilik, manajemen dan pekerja /buruh. implementasi kedua pendekatan yaitu engineering approaches dan behavioral approaches ternyata telah mampu membuat kesuksesan pada perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju. Perusahaan-perusahaan tersebut menekankan kontribusi setiap pekerja dalam pemecahan masalah melalui kesepakatan kelompok. Hal tersebut memberikan tempat bagi berlangsungnya hubungan industrial yang lebih harmonis dan dinamis.

B. Langkah strategis Menciptakan Hubungan Industrial yang Harmonis dan Dinamis

Fenomena globalisasi tidak hanya merupakan interkoneksi antara masyarakat dunia satu sama lainnya, tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan strategis, baik internal maupun eksternal di bidang sosial, ekonomi, budaya , teknologi dan lainnya. Di negara kita, perubahan lingkungan strategis ini semakin cepat karena dipicu oleh bergulirnya reformasi yang menuntut perubahan di berbagai bidang. Di bidang ketenagakerjaan, telah diretifikasi Konvensi ILO No. 87 melalui Keppres 83 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Bernegosiasi.
Kebebasan berserikat di perusahaan telah mempengaruhi pelaksanaan hubungan kerja, sehingga diperlukan penanganan yang lebih komunikatif dalam dunia usaha. Oleh karena itu, setiap elemen harus mampu mengembangkan berbagai strategi perubahan yang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat pekerja.
Sejalan dengan terjadinya perubahan, pekerja memerlukan kesejahteraan yang semakin meningkat, ada kepastian hubungan kerja dan pengakuan keberadaan pekerja untuk mengaktualisasikan dirinya melalui kebebasan berserikat, mengemukakan pendapat serta menyalurkan aspiransinya. Apabila hal tersebut tidak dapat terakomodasi dengan baik, maka akan dapat menimbulkan gejolak berupa aksi mogok kerja. Mogok kerja atau unjuk rasa terjadi mungkin karena lemahnya advokasi, sehingga aspirasi pekerja tidak dapat disikapi dengan baik. Aspirasi yang tidak tersalurkan dengan memadai akan terakumulasi menjadi tuntutan yang segera terwujudkan dalam bentuk apapun. Terakumulasinya berbagai tuntutan pekerja, baik yang menyangkut pelaksanaan fungsinya sebagai pekerja maupun dalam organisasi akan menimbulkan dorongan besar untuk menggalang solidaritas yang lebih besar pula. Dari berbagai fakta yang ada, kasus-kasus unjuk rasa yang terjadi disebabkan karena berbagai hal, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya tingkat kesejahteraan, sehingga mendorong solidaritas masyarakat untuk menuntut perbaikan yang dilakukan melalui unjuk rasa untuk mendapat perhatian.
2. Rendahnya tingkat pendidikan, sehingga mudah dipengaruhi tanpa melalui nalar dan memikirkan akibat yang mungkin timbul, sebagai dampak negatif dari unjuk rasa atau mogok kerja.
3. Tersumbatnya jalur-jalur penyampaian aspirasi yang dapat memberikan solusi dari permasalahan yang dihadapi.
4. Kurangnya respon pihak-pihak terkait terhadap situasi dan kondisi yang sedang berkembang yang menyebabkan permasalahan tidak segera terselesaikan.
5. Besarnya keinginan masyarakat untuk segera memperoleh perubahan atau perbaikan, yang sering kali tanpa mempertimbangkan potensi dan kendala yang dihadapi.
6. Tingginya tingkat kecurigaan terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak sejalan dengan kelompoknya, sebagai dampak dari kurangnya transparansi.
7. Komunikasi yang dilakukan masih cenderung instruksional, sedangkan yang dibutuhkan masyarakat adalah komunikasi dialogis.

Dalam upaya mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial, maka peranan pengusaha dan pekerja sangat penting dalam upaya menciptakan ketenangan bekerja dan kemajuan usaha. Serikat pekerja merupakan sarana untuk memperjuangkan hak pekerja dan menciptakan hubungan industrial yang aman dan harmonis. Dengan demikian pekerja dan serikat pekerja harus memiliki rasa tanggung jawab atas kelangsungan hidup perusahaan dan sebaliknya pengusaha harus memperlakukan pekerja sebagai mitra sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang harus terus ditingkatkan kesejahteraannya.
Upaya untuk mengembangkan dunia kerja yang kondusif tidaklah mudah dan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Oleh karena itu pengusaha dan pekerja harus ikut menciptakan hubungan kerja yang kondusif melalui manajemen yang sepadan tentang hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerjanya. Dalam manajemen hubungan industrial, antara pekerja dan pengusaha sangat penting untuk memahami prinsip-prinsip dalam hubungan industrial, sebagai berikut:
1. Pengusaha dan pekerja, sama-sama mempunyai kepentingan atas keberhasilan dan kelangsungan hidup perusahaan. Kedua belah pihak harus memberikan upaya maksimal melalui pelaksanaan tugas pekerjaannya.
2. Pekerja adalah mitra pengusaha dalam menjalankan roda perusahaan. Perusahaan tidak mungkin jalan dan berkembang tanpa kedua belah pihak.
3. Pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan fungsional, dan kedua belah pihak mempunyai fungsi yang berbeda tetapi tujuannya tetap sama yaitu untuk kemajuan perusahaan dan peningkatan kesejahteraan.
4. Pengusaha dan pekerja merupakan anggota keluarga perusahaan yang tidak terpisahkan.
5. Tujuan pembinaan hubungan industrial adalah untuk menciptakan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja, sehingga produktivitas kerja dapat ditingkatkan secara optimal.
6. Peningkatan produktivitas perusahaan harus dapat memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan bersama, yaitu kesejahteraan pengusaha dan pekerjanya.

C. Upaya Mengantisipasi Permasalahan Perburuhan

Dalam upaya untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang muncul dan semakin marak dewasa ini, maka diperlukan langkah-langkah bijak dan konstruktif dari berbagai pihak yang terkait.
1. Upaya Preventif.
Kondisi ketenangan bekerja dan kemajuan usaha perusahaan adalah suatu keadaan ideal yang diinginkan oleh semua pihak. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya preventif, sehingga daya tahan perusahaan secara nyata dapat ditingkatkan. Dengan demikian, peran pengusaha sangat penting dan dapat dilakukan dengan cara:
 Melaksanakan hak-hak pekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Memberikan perhatian terhadap kesejahteraan pekerja, sesuai prinsip kemitraan dalam hal pembagian keuntungan.
 Menciptakan komunikasi yang baik secara dua arah dengan pekerja atau serikat pekerja/buruh. Melalui komunikasi akan dapat dibahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang sedang dan akan terjadi, seperti; adanya kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi hubungan industrial.
 Melakukan pengembangan SDM, sebagai upaya untuk meningkatkan gairah kerja, kepuasan kerja dan produktivitas kerja melalui pelatihan dan pembinaan karier.
 Segera menyelesaikan komplain-komplain yang muncul, sehingga tidak terakumulasi yang dapat menimbulkan perselisihan perburuhan yang akan diikuti dengan tindakan mogok kerja atau unjuk rasa.

2. Upaya Represif.
 Dalam proses produksi, benturan hak dan kepentingan antara pekerja dan pengusaha sering kali sulit untuk dihindarkan. Oleh sebab itu, untuk mencegah permasalah ini menjadi berlarut-larut maka diperlukan penanganan masalah hubungan industrial secara cepat, tepat dan konsisten serta sesuai dengan koridor hukum dan peraturan perundangan yang berlaku.
 Timbulnya masalah ketenagakerjaan dapat disebabkan oleh pengusaha yang tidak melaksanakan hak-hak pekerja yang bersifat normatif dan yang telah diatur dalam Peraturan Perusahaan [PP] dan Perjanjian Kerja Bersama [PKB], untuk itu, secara terus menerus perlu dilakukan tindakan peningkatan efektivitas penegakan pelaksanaan hukum [law enforcement] kepada pihak yang melanggar melalui BAP.
 Upaya-upaya represif ini, harus didukung dengan peningkatan kualitas SDM pegawai pengawas dan pegawai perantara agar lebih profesional dalam melaksanakan tugasnya. Sejalan dengan upaya peningkatan profesionalisme aparatur tersebut, perlu pula dukungan semua pihak terhadap penyempurnaan mekanisme dan jaringan kerja operasionalnya.
 Dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, sangat diperlukan kemauan untuk membenahi mekanisme operasional pelaksanaan tugas dan fungsi pegawai pengawas dan pegawai perantara, sehingga struktur organisasi dan hirarki kewenangan tidak menjadi hambatan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.
 Selain upaya represif dari pemerintah tersebut, pengusaha dan pekerja harus mampu memilah sikap yang ditempuh dengan mengutamakan substansi penyelesaian masalah hubungan industrial dari pada mempersoalkan kompetensi penangannya.

D. Upaya Mewujudkan Tanaga Kerja Sehat dan Produktif Agar Berdaya Saing Tinggi

Penggunaan teknologi maju sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara luas, namun tanpa disertai dengan pengendalian yang tepat akan dapat merugikan manusia itu sendiri. Penggunaan teknologi maju tidak dapat dielakkan, terutama pada era industrialisasi yang ditandai adanya proses mekanisasi, elektrifikasi dan modernisasi serta transformasi globalisasi. Dalam keadaan demikian penggunaan mesin-mesin, pesawat, instalasi dan bahan-bahan berbahaya akan terus meningkat sesuai kebutuhan industrialisasi. Hal tersebut di samping memberikan kemudahan bagi suatu proses produksi, tentunya efek samping yang tidak dapat dielakkan adalah bertambahnya jumlah dan ragam sumber bahaya bagi pengguna teknologi itu sendiri. Di samping itu, faktor lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), proses kerja tidak aman, dan sistem kerja yang semakin komplek dan modern dapat menjadi ancaman tersendiri bagi keselamatan dan kesehatan pekerja.
Kondisi lain adalah, masih kurangnya kesadaran dari sebagian besar masyarakat perusahaan, baik pengusaha maupun tenaga kerja akan arti pentingnya K3 merupakan hambatan yang sering dihadapi. Berdasarkan data ILO 2003, ditemukan bahwa di Indonesia tingkat pencapaian penerapan kinerja K3 di perusahaan masih sangat rendah.

Dari data tersebut ternyata hanya sekitar 2% (sekitar 317 buah) perusahaan yang telah menerapkan K3. Sedangkan sisanya sekitar 98% (sekitar 14.700 buah) perusahaan belum menerapkan K3 secara baik.
Berdasarkan data Jamsostek, bahwa pengawasan K3 secara nasional masih belum berjalan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kecelakaan yang terjadi, dimana pada tahun 2003 terjadi kecelakaan sebanyak 105.846 kasus, tahun 2004 sebanyak 95.418 kasus, tahun 2005 sebanyak 96.081 kasus dan pada tahun 2006 terjadi kecelakaan sebanyak 70.069 kasus kecelakaan kerja dan sepanjang tahun 2007 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 65.474 kejadian. Angka tersebut tentunya masih sangat fantastis dan dapat dijadikan tolok ukur pencapaian kinerja K3.
Dengan demikian, agar masalah K3 dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan pembinaan dan pengawasan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Oleh karena itu K3 yang merupakan salah satu bagian dari upaya perlindungan tenaga kerja perlu dikembangkan dan ditingkatkan pada setiap tingkatan proses kerja. Hal tersebut dimaksudkan untuk pemenuhan terhadap tercapainya tujuan penerapan K3 di tempat kerja seperti yang diamanatkan oleh UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, dimana:
1) Setiap tenaga kerja dan setiap orang lain yang berada di tempat kerja harus selalu mendapat perlindungan atas keselamatan dan kesehatannya;
2) Setiap sumber produksi dapat dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien;
3) Setiap proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.

Tujuan tersebut di atas baru dapat dicapai antara lain bila kecelakaan termasuk kebakaran, peledakan, pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah dan dikendalikan sampai batas yang tidak membahayakan. Oleh karena itu setiap usaha K3 tidak lain adalah pencegahan dan penanggulangan kecelakaan di tempat kerja. Dengan adanya pengetahuan tentang K3 diharapkan dapat mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Yang mana hal tersebut akan dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kerja, kerugian berupa cacat atau cedera yang bersifat sementara maupun permanen atau bahkan terjadi kematian serta kerusakan properti dan lingkungan.
Dalam upaya untuk menyelenggarakan program pencegahan kecelakaan kerja guna mewujudkan tenaga kerja yang sehat dan produktif, maka komponen-komponen di dalam sistem kerja haruslah dipahami secara baik pula. Komponen-komponen di dalam sistem kerja perusahaan tersebut meliputi 4 [empat] komponen pokok, yaitu:
1) Komponen Tugas-Tugas. Elemen tugas-tugas tertentu yang sedang dikerjakan mungkin mempengaruhi tingkat kekerapan suatu kecelakaan kerja. Tugas-tugas yang dikerjakan mungkin berhubungan dengan kecepatan dan beban tugas berat. Tugas-tugas yang dikerjakan apabila tidak sesuai dengan kemampuan, ketrampilan dan keterbatasan pekerjanya akan mengakibatkan stres, penurunan motivasi, kelelahan yang tidak terkontrol. Interaksi antara pekerja dengan tugas-tugas yang tidak seimbang merupakan penyebab terjadinya kecelakaan.
2) Komponen Pekerja. Di dalam sistem manusia-tugas-peralatan-lingkungan kerja, maka pekerja mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar, yaitu sebagai Sensor, Information Processor dan Control. Agar sistem kerja dapat berfungsi dengan baik terutama untuk tujuan produksi, maka pekerja harus mampu bekerja secara efektif dan menghindari mengambil resiko yang tidak perlu. Untuk maksud tersebut, pekerja harus disadarkan mengenai hal-hal sebagai berikut:
 Persyaratan kerja dan langkah-langkah yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan;
 Kemampuan, kebolehan dan keterbatasanya di dalam melaksanakan tugas-tugasnya;
 Apa yang akan diperoleh jika tugas-tugas telah dikerjakan dan pekerja berhasil dalam pekerjaannya?;
 Apa yang akan terjadi jika tugas-tugas telah dikerjakan dan pekerja gagal dalam tugasnya?;
 Kerugian apa yang akan terjadi jika pekerja tidak melaksanakan tugasnya?, dan lain sebagainya.
3) Komponen Peralatan Kerja merupakan komponen kedua di dalam sistem kerja. Seluruh peralatan kerja harus didesain, dipelihara dan digunakan dengan baik. Pengendalian potensi bahaya dapat dipengaruhi oleh bentuk peralatan, ukuran, berat ringannya peralatan, kenyamanan operator, dan kekuatan yang diperlukan untuk menggunakan atau pengoperasikan peralatan kerja dan mesin-mesin. Variabel-variabel tersebut sangat mempengaruhi interaksi antara pekerja dan peralatan kerja yang digunakan. Variabel-variabel peralatan lainnya yang penting di dalam pengenalan potensi bahaya termasuk kecepatan operasi dan potensi bahaya mekanik.
4) Komponen Lingkungan Kerja. Pertimbangan tertentu harus diberikan terhadap faktor lingkungan kerja (seperti: lay out atau tata letak ruang, kebersihan, intensitas penerangan, suhu, kelembaban, kebisingan, vibrasi, ventilasi, dll.) yang mungkin dapat mempengaruhi kenyamanan, kesehatan dan keselamatan pekerja.
5) Organisasi Kerja. Perilaku manajemen keselamatan kerja kedepan merupakan variabel yang sangat penting di dalam pengembangan program keselamatan kerja di tempat kerja. Struktur organisasi yang mempromosikan kerjasama antara pekerja untuk mengenalan dan pengendalian potensi bahaya akan mempengaruhi perilaku pekerja secara positif. Struktur organisasi tersebut juga akan dapat memotivasi pekerja untuk berperilaku secara hati-hati selama bekerja. Pengembangan organisasi kerja efektif akan sangat menentukan kinerja keselamatan secara umum di tempat kerja dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja. Kondisi organisasi kerja selalu mempengaruhi dan menentukan interaksi pekerja-tugas-peralatan-lingkungan kerja.

K3 merupakan bagian integral dari perlindungan tenaga kerja yang merupakan hak azasi tenaga kerja untuk mendapatkan jaminan keamanan dalam melakukan pekerjaannya serta bekerja dalam lingkungan yang sehat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membangun sistem hubungan industrial yang harmonis di tempat kerja. K3 juga terkait dengan perlindungan lingkungan sekitar perusahaan, maka perhatian juga harus ditujukan kepada masyarakat di sekitar perusahaan agar tidak terkena dampak yang merugikan akibat operasional perusahaan.
Dari pengalaman menunjukkan bahwa tempat kerja yang telah menerapkan K3 dengan baik, pada umumnya mempunyai iklim hubungan industrial yang lebih baik. Salah satu faktor penting dalam penerapan K3 adalah pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan. Peraturan perundangan K3 merupakan standar minimal yang harus diterapkan oleh setiap pengusaha di tempat kerjanya masing-masing. Oleh karena ketentuan K3 bersifat normatif yang diatur dalam Undang-Undang Keselamatan Kerja No. 1 tahun 1970, maka diperlukan pengawasan yang bersifat terus menerus oleh aparat pengawas ketenagakerjaan di daerah, dan setiap pelanggaran atas ketentuan dapat dikenakan sanksi.
Di samping itu K3 juga terkait dengan 3 [tiga] standar utama yaitu standar mutu produk, termasuk di dalamnya standar uji yang mengacu kepada International Standard Organisation [ISO]; standar kompentensi yang mengacu pada standar kualifikasi jabatan internasional dan standar yang mengacu pada standar International labour Organisation [ILO]. Standarisasi pada dasarnya adalah bersifat sukarela [voluntary], namun demikian dapat menajadi wajib [compulsary] apabila diterapkan melalui peraturan pemerintah.

E. Implemetasi Pembinaan Hubungan Industrial yang Harhomis dan Dinamis

Pembangunan Ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2), dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil makmur dan merata baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Berkaitan dengan perlindungan ketenagakerjaan, pemerintah daerah menetapkan kebijakan pembangunan Hubungan Industrial yang diarahkan pada peningkatan kesejahteraan dan Hubungan Industrial antara lain:
1. Pemberian bantuan pinjaman modal secara bergilir kepada keluarga pekerja.
2. Mengadakan koordinasi dengan lembaga Bipartit dan Tripartit dalam membicarakan masalah ketenagakerjaan.
3. Verifikasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh setiap tahun sekali.
4. Peningkatan profesionalisme pekerja, pengusaha dan aparat pemerintah di bidang:
 Hubungan Industrial; melalui pengikut-sertaan dalam Bimtek, Penyuluhan, Seminar dll.
 Peningkatan Pengupahan; yang telah mengikuti standarisasi penghitungan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), di mana pelaksanaan survai KHL dilaksanakan tiap bulan sekali dengan harapan upah minimum tidak jauh selisihnya dengan Kebutuhan Hidup Layak pekerja/buruh.

Pembinaan Hubungan Industrial juga diarahkan pada terwujudnya Hubungan Industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa untuk mencapai Hubungan Industrial yang serasi di perusahaan perlu adanya kerjasama yang baik dan saling terbuka antara Pekerja/Buruh, serta Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pengusaha. Perkembangan Hubungan Industrial dewasa ini ditandai oleh adanya beberapa perubahan sebagai dampak globalisasi dan reformasi yang antara lain meliputi kebebasan berserikat, pelaksanaan HAM, supremasi hukum, otonomi daerah infrastruktur dan iklim infestasi.
Kegiatan Hubungan Industrial merupakan kegiatan penting yang berdampak pada masalah sosial, ekonomi, politik dan kesejahteraan masyarakat. Pada sisi lain kegiatan Hubungan Industrial di Perusahaan tidak akan terlepas dari pengaruh pihak lain di luar perusahaan, dengan demikian menuntut kesiapan kita semua para pengelola sumber daya manusia di perusahaan dan para pekerja serta pengurus SP/SB dan pihak terkait pelaksanaan Hubungan Industrial.
Tujuan umum dari segala proses yang dimaksud adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dalam arti terpenuhinya kebutuhan sosial minimum pekerja, kepada para pekerja dan pengusaha dituntut untuk mampu meningkatkan pemahaman dan dapat melaksanakan seluruh ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tepat dan baik untuk kepentingan semua pihak dalam proses produksi. Mengingat di Kabupaten Sragen tidak sedikit masyarakatnya yang bekerja sebagai pekerja/buruh di perusahaan sehingga situasi yang kondusif tersebut dapat menciptakan ketenangan pekerja/buruh dalam bekerja dan ketenangan pengusaha dalam berusaha dan masing-masing pihak dapat memahami hak dan kewajibannya, sehingga terjamin rasa aman, tentram, terpenuhinya keadilan serta terwujudnya kehidupan yang sejahtera lahir batin, selaras dan seimbang.
Dengan demikian diharapkan gejolak ketenagakerjaan di Kabupaten Sragen dapat dieliminir sedemikian rupa sehingga pembangunan dapat berjalan dengan lancar dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Masalah utama di bidang Hubungan Industrial antara lain adalah rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja, rendahnya kesejahteraan tenaga kerja serta kurangnya perlindungan dan pengawasan tenaga kerja, serta Hubungan Industrial yang harmonis belum sepenuhnya terwujud. Sementara itu, objek pengawasan dan perlindungan ketenagakerjaan di kabupaten Sragen dapat dilihat dari jumlah perusahaan yang terdapat di kabupaten Sragen, sebagai berikut:
 Perusahaan Besar (tenaga kerja > 100 orang), sebanyak 19 buah.
 Perusahaan Menengah (tenaga kerja 25–99 orang), sebanyak 16 buah.
 Perusahaan Sedang (tenaga kerja 10–24 orang), sebanyak 61 buah.
 Perusahaan Kecil (tenaga kerja 1–9 orang), sebanyak 911 buah.

Sedangkan objek tenaga kerja yang harus dibina dan dilindungi yang tersebar di perusahan-perusahaan tersebut adalah: laki-laki sebanyak 7.821 orang dan perempuan sebanyak 7.101 orang. Di samping itu, berdasarkan pengupahan dapat dinyatakan, bahwa tingkat kesejahteraan pekerja relatif masih rendah, hal ini dapat dilihat dengan rata-rata upah yang diterima pekerja/buruh masih sebesar upah minimum, sedangkan upah minimum yang diterima pekerja masih dibawah kebutuhan hidup minimum pekerja/buruh. Sementara Kebutuhan Hidup Layak yang menjadi ukuran adalah pekerja lajang sehingga bagi pekerja yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak belum mendapatkan perhatian.
Lebih lanjut, kurangnya perlindungan tenaga kerja yang telah bekerja di perusahaan dapat dilihat dengan indikator sudah / belum dibuatnya Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di Perusahaan. Adapun jumlah perusahaan di Kabupaten Sragen yang mempunyai PP/PKB adalah sebagai berikut :
o Peraturan Perusahaan : 9 buah.
o Perjanjian Kerja Bersama : 7 buah.

Belum validnya data mengenai jumlah tenaga kerja yang telah dipekerjakan dengan sistim kontrak ataupun outsoursing juga merupakan indikator kurangnya perlindungan terhadap tenaga kerja. Kasus-kasus perselisihan, pemutusan hubungan kerja (PHK) ataupun adanya pemogokan/unjuk rasa dapat dijadikan indikasi kurang harmonisnya hubungan industrial (sebagai gambaran; data kasus yang ada selama bulan Januari – Agustus 2006 ) adalah sebagai berikut :
o Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) terjadi 1 kasus yang melibatkan 1 orang tenaga kerja.
o Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi 7 kasus yang melibatkan 37 orang tenaga kerja.
o Mogok/Unjuk Rasa terjadi 2 kasus yang melibatkan sebanyak 2.200 orang tenaga kerja.