PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (P2K3)

PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (P2K3)

PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (P2K3)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menyediakan suatu kerangka dasar untuk pencegahan terjadinya kecelakaan dan timbulnya penyakit akibat kerja di tempat kerja. Kunci utama dari inti UU Keselamatan Kerja tersebut adalah keterlibatan tenaga kerja dan pengurus serta organisasi kerja yang ada di dalamnya untuk meningkatkan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Keterlibatan tenaga kerja di tempat kerja dapat dicapai antara lain melalui; adanya perwakilan tenaga kerja untuk K3 dan pembetukan organisasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Selanjutnya dalam Permenaker No. PER-04/MEN/1987 tentang P2K3 serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja, Pasal 1 (d) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Panitian Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjtunya disebut P2K3 adalah badan pembantu di tempat kerja yang merupakan wadah kerjasama antara pengusaha dan pekerja untuk mengembangkan kerjasama saling pengertian dan partisipasi efektif dalam penerapan K3.MENGAPA P2K3 DIPERLUKAN


Seperti apa yang tertuang di dalam UU Keselamatan Kerja, Pasal 10 (1) dinyatakan bahwa “Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk P2K3 guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama dibidang K3, dalam rangka melancarkan usaha produksi.” Yang dimaksud dengan memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif adalah suatu bentuk keterlibatan (involvement) dari kedua belah pihak. Sedangkan tugas dan kewajiban dari kedua belah pihak adalah melancarkan usaha produksi melalui peningkatan kinerja K3. Dalam hal ini, P2K3 mempunyai peran central di dalam menjamin kinerja K3 di tempat kerja.
Perubahan kinerja K3 kearah yang lebih baik akan lebih mudah dicapai apabila antara pengurus atau pihak manajemen dengan tenaga kerja bekerja sama (melalui forum P2K3), saling berkonsultasi tentang potensi bahaya, mendiskusikannya dan mencari solusi atas semua masalah K3 yang muncul di tempat kerja. P2K3 sebagai wadah forum rembuk K3 dapat membawa pengurus dan perwakilan tenaga kerja bersama-sama untuk mempertimbangkan isu-isu umum K3 di tempat kerja secara luas, merencanakan, melaksanakan dan memantau program-program K3 yang telah dibuat.


APA SYARAT PEMBENTUKAN P2K3

Permenaker No. PER-04/MEN/1987 tentang P2K3 serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja Pasal 2, mensyaratkan bahwa setiap tempat kerja dengan kriteria tertentu pengusaha atau pengurus WAJIB membentuk P2K3. Kriteria tempat kerja dimaksud ialah:
a) Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan 100 orang atau lebih;
b) Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan kurang dari 100 orang, akan tetapi menggunakan bahan, proses dan instalasi yang mempunyai resiko yang besar akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan dan penyinaran radioaktif.

Selanjutnya pada Pasal 3 (3) dinyatakan bahwa “P2K3 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya atas usul dari pengusaha ataua pengurus yang bersangkutan”. Dengan demikian inisiatif pembentukan P2K3 di tempat kerja atau perusahaan harus mucul dari pengurus atau pengusaha yang didasarakan pada kesadaran untuk memenuhi kewajiban seperti yang ditetapkan dalam peraturan perundangan.
Terdapat beberapa hal penting sebagai dasar pertimbangan pada saat pembentukan P2K3. Tujuan pembentukan P2K3 harus dapat menjamin bahwa organisasi yang akan dibentuk merupakan perwakilan seluruh komponen yang ada di tempat kerja. Konsultasi antara pihak manajemen dengan pekerja harus terfokus pada pengembangan struktur P2K3 yang betul-betul sesuai dengan kebutuhan tempat kerja atau perusahaan. Pada saat memutuskan kebutuhan organisasi P2K3 yang sesui dengan tempat kerja atau perusahaan dan dapat memenuhi tuntutan peraturan perundangan, hal-hal yang harus difikirkan antara lain adalah :

 Besar kecilnya tempat kerja atau perusahaan;
 Jenis operasional dan pengaturan tempat kerja;
 Potensi bahaya dan tingkat resiko yang ada di tempat kerja;
 Calon-calon anggota dari setiap kelompok kerja yang akan mengisi struktur organisasi; dan
 Ukuran ideal organisasi yanag dapat bekerja secara efektif.

Pada perusahaan besar atau tempat kerja yang luas akan diperlukan jumlah yang lebih besar kelompok kerja yang akan ditunjuk. Jika P2K3 mempunyai banyak anggota maka akan diperlukan suatu upaya atau perjuangan untuk dapat bekerja secara efektif. Untuk itu, mungkin perlu membuat lebih dari satu organisasi K3 dan selanjutnya tinggal mengatur untuk langkah koordinasi diantara mereka. Hal yang perlu disadari bahwa terlalu banyak atau terlalu sedikit anggota P2K3 akan menimbulkan suatu permasalahan, untuk itu harus dibuat atau disusun struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.




SIAPA YANG HARUS MENJADI ANGGOTA P2K3

Berdasarkan Pasal 3, Permenaker No. PER-04/MEN/1987 tentang P2K3 serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja dinyatakan bahwa:
1) Keanggotaan P2K3 terdiri dari unsur pengusahan dan pekerja yang susunannya terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota
2) Sekretaris P2K3 ialah Ahli Keselamatan Kerja dari perusahaan yang bersangkutan
3) Ketua P2K3, diupayakan dijabat oleh pimpinan perusahaan atau salah satu pengurus perusahaan
Agar organisasi P2K3 dapat berjalan dengan baik, maka susunan anggota sekurang-kurangnya separuhnya adalah dari perwakilan pekerja. Anggota dari perwakilan pekerja, pertama-tama dipilih dari orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang proses kerja dan potensi bahaya yang ada di tempat kerjanya. Demikian juga dengan perwakilan dari pihak manajemen atau pengurus, diupayakan suatu perwakilan yang berasal dari jajaran manajer, supervisor, personnel officers atau profesional K3 yang dapat memberikan informasi atau masukan di dalam membuat kebijakan perusahaan, kebutuhan produksi dan hal-hal teknis perusahaan lainnya. Selanjutnya jumlah anggota P2K3 yang ideal agar fungsi organisasi dapat berjalan dengan efektif adalah sebagai berikut:
1) Perusahaan yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih, maka jumlah anggota sekurang-kurangnya 12 orang terdiri dari 6 orang perwakilan pekerja dan 6 orang dari perwakilan pengurus perusahaan atau pihak manajemen.
2) Perusahaan yang mempunyai tenaga kerja 50 orang s/d 100 orang, maka jumlah anggota sekurang-kurangnya 6 orang terdiri dari 3 orang perwakilan pekerja dan 3 orang dari perwakilan pengurus perusahaan atau pihak manajemen.
3) Perusahaan yang mempunyai tenaga kerja kurang dari 50 orang atau tempat kerja dengan tingkat resiko yang besar, maka jumlah anggota sekurang-kurangnya 6 orang terdiri dari 3 orang perwakilan pekerja dan 3 orang dari perwakilan pengurus perusahaan atau pihak manajemen.

Kadang-kadang sangat sulit untuk memutuskan, siapa yang dapat menjadi wakil pekerja dan siapa yang harus menjadi perwakilan pihak manajemen, karena disebagian besar tempat kerja semuanya adalah sebagai “pekerja”. Agar P2K3 dapat bekerja dengan baik, maka wakil manajemen harus diusulkan oleh pihak manajemen dan wakil pekerja harus diusulkan oleh para kerja itu sendiri dan bukan merupakan penunjukan dari pengurus perusahaan.


BAGAIMANA LANGKAH MEMBENTUK P2K3

Untuk dapat pembentukan organisasi P2K3 yang baik perlu suatu langkah-langkah efektif yang dimulai dari tahap persiapan dan dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan pembentukan.

TAHAP PERSIAPAN
Internal perusahaan harus mempersiapkan pembentukan P2K3 yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
 Membuat Kebijakan K3. Pengurus harus terlebih dulu menggariskan dan menjalankan pokok-pokok kebijakan K3 secara umum dan menetapkan maksud tujuan untuk membentuk P2K3. Kebijakan K3 tersebut lazin disebut sebagai “SAFETY AND HEALTH POLICY”. Secara garis besar kebijakan tersebut berupa penegasan bahwa:
 K3 merupakan salah satu faktor yang tidak dapat diabaikan dalam kelancaran proses produksi perusahaan
 Pimpinan perusahaan bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan usaha K3 di perusahaannya
 Semua personel mulai dari top manajemen sampai garis organisasi perusahaan paling bawah harus memahami dan ikut aktif di dalam segala kegiatan K3 yang diselenggarakan oleh perusahaan
 Perlu dilakukan pembinaan dan latihan secara terus menerus untuk peningkatan kinerja K3
 Pengawasan dan pelaksanaan semua ketentuan K3 yang telah digariskan
 Perlu penyediaan anggaran operasional yang cukup
 P2K3 berfungsi sebagai penggerak dilaksanakannya K3 di perusahaan
 Kebijakan K3 harus dituangkan secara tertulis. Hal ini penting bagi semua pihak yang terkait dengan K3 perusahaan dan beberapa alasan penting seperti:
 Mempermudah pelaksanaan kebijakan K3 yang telah ditetapkan
 Mempermudah para pengawas K3 perusahaan melaksanakan kebijakan tersebut
 Mempermudah para pekerja untuk mematuhi peraturan K3 beserta instruksi-instruksi teknisnya, dll.
 Inventarisasi calon anggota P2K3. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan calon anggota yang dapat mewakili seluruh komponen atau unsur perusahaan. Dalam hal ini pengurus menyusun daftar calon anggota P2K3 yang telah dipilih dan diusulkan oleh masing-masing unit kerja baik dari pihak perwakilan pekerja maupun perwakilan pihak manajemen.
 Konsultasi dengan pihak pemerintah, khususnya dinas atau kantor yang membidangi ketenagakerjaan setempat untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk teknis yang diperlukan berkaitan dengan pembentukan P2K3.

TAHAP PELAKSANAAN PEMBENTUKAN
Setelah pengurus berhasil mendapatkan dan menyusun calon anggota P2K3, maka langkah berikutnya adalah melakukan pembentukan P2K3 secara resmi. Selanjutnya pimpinan perusahaan atau pengurus menyampaikan usulan pembentukan P2K3 kepada Menteri Tenaga Kerja melalui Dinas atau Kantor yang membidangi ketenagakerjaan setempat untuk mendapatkan pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan yang berlaku.


APA TUGAS DAN FUNGSI P2K3

Operasional nyata P2K3 mencerminkan siapa yang duduk dalam organisasi, seberapa matang organisasi dipersiapkan untuk dapat bekerja secara efektif dan apa yang mereka kerjakan untuk meningkatkan kinerja K3 perusahaan.
Sebagai referensi tugas dan fungsi P2K3, Permenaker No. PER-04/MEN/1987 tentang P2K3 serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja Pasal 4 (1) menyatakan bahwa “P2K3 mempunyai TUGAS memberikan saran dan pertimbangan baik diminta maupun tidak kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah K3”. selanjutnya untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, maka P2K3 mempunyai fungsi:
a. Menghimpun dan mengelola data tentang K3 di tempat kerja
b. Membantu menunjukkan dan menjelaskan kepada setiap tenaga kerja:
 Berbagai faktor bahaya di tempat kerja yang dapat menimbulkan gangguan K3, termasuk bahaya kebakaran, peledakan serta cara penanggulangannya
 Faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja
 Alat pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan
 Cara dan sikap yang benar dan aman dalam melaksanakan pekerjaannya
c. Membantu pengusaha atau pengurus dalam:
 Mengevaluasi cara kerja, proses dan lingkungan kerja
 Menentukan tindakan koreksi dengan alternatif berbaik
 Mengembangkan sistem pengendalian bahaya terhadap K3
 Mengevaluasi penyebab timbulnya kecelakaan, penyakit akibat kerja serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan
 Mengembangkan penyuluhan dan penelitihan di bidang keselamatan kerja, higene perusahaan, kesehatan kerja dan ergonomi
 Melaksanakan pemantauan terhadap gizi kerja dan menyelenggarakan makanana di perusahaan
 Memeriksa kelengkapan peralatan keselamatan kerja
 Mengembangkan pelayanan kesehatan kerja
 Mengembangkan laboratorium K3, melakukan pemeriksaan laboratorium dan melaksanakan interpretasi hasil pemeriksaan
 Menyelenggarakan administrasi keselamatan kerja, higene perusahaan dan kesehatan kerja
d. Membantu pimpinan perusahaan menyusun kebijakan manajemen dan pedoman kerja dalam rangka upaya meningkatkan keselamatan kerja, higene perusahaan, kesehatan kerja, ergonomi dan gizi tenaga kerja.

Agar fungsi P2K3 tersebut dapat berjalan dengan efektif, maka tugas-tugas pengurus harus diuraikan secara jelas dalam bentuk “Job Discribtion” antara lain sebagai berikut:
1) Tugas Ketua P2K3
 Memimpin semua rapat pleno P2K3 atau menunjuk pengurus lainnya untuk memimpin rapat pleno
 Menentukan langkah kebijakan demi tercapainya pelaksanaan program-program yang telah digariskan organisasi
 Mempertanggung jawabkan pelaksanaan K3 di perusahaannya kepada pemerintah melalui pimpinan perusahaan
 Mempertanggung jawabkan program-program P2K3 dan pelaksanaannya kepada direksi perusahaan
 Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program-program K3 di perusahaan, dll.
2) Tugas Wakil Ketua
 Melaksanakan tugas-tugas ketua dalam hal ketua berhalangan dan membantu pelaksanaan tugas ketua sehari-hari
3) Tugas Sekretaris
 Membuat undangan rapat dan membuat notulen rapat
 Memberikan bantuan atau saran-saran yang diperlukan olek seksi-seksi untuk kelancaran program-program K3
 Membuat laporan ke departemen-departemen perusahaan tentang adanya potensi bahaya di tempat kerja, dll.
4) Tugas Anggota
 Melaksanakan program-program yang telah ditetapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing
 Melaporkan kepada ketua atas setiap kegiatan yang telah dilaksanakan, dll.


BERAPA SERING PERTEMUAN P2K3 DISELENGGARAKAN

Secara efektif P2K3 dapat mengadakan pertemuan atau sidang rutin sekurang-kurangnya adalah 3 bulan sekali. P2K3 mungkin dapat memutuskan untuk mengadakan pertemuan lebih sering, dan di sebagian besar tempat kerja, P2K3 mengadakan pertemuan setiap bulan agar mereka lebih mampu menangani isu-isu K3 di tempat kerja, menyusun rencana, menerapkan dan memantau program-programnya secara efektif. Suatu hal yang sangat penting adalah bagaimana selalu menjaga antusia dan komitment seluruh pengurus dan anggota P2K3.
Pertemuan/sidang-sidang secara reguler akan dapat membantu dan dengan menetapkan tanggal khusus pertemuan (seperti; senin pertama atau sabtu pertama setiap bulan), sehingga memudahkan seluruh anggota untuk mengingat dan menghadiri pertemuan serta dapat menyesuaikan dengan aktivitas kerja lainnya. Namun demikian, pertemuan dapat ditunda apabila sekurang-kurangnya separuh anggota menghendaki dengan berbagai alasan dan kepentingan perusahaan. Frequensi pertemuan mungkin tergantung dari berbagai faktor antara lain:
 Volume pekerjaan yang harus diselesaikan oleh P2K3
 Ukuran tempat kerja atau area yang harus ditangani oleh P2K3
 Jenis pekerjaan yang dilakukan
 Potensi bahaya dan tingkat resiko yang ada di tempat kerja atau area yang harus ditanganinya
 Adanya perubahan proses operasi di tempat kerja
 Pembelian peralatan baru atau pengenalan sistem kerja baru dan
 Pengenalan atau sosialisasi peraturan perundangan baru yang relevan
Di samping pertemuan/sidang rutin, P2K3 dapat mengadakan sidang khusus terutama bila menghadapi hal-hal yang bersifat mendadak, seperti setelah terjadi kecelakaan kerja atau kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh proses kerja. Dalam sidang sebaiknya dibicarakan materi-materi yang menyangkut permasalah K3 di tempat kerja atau masalah-masalah lain yang relevan dengan peningkatan kinerja K3 seperti:
 Membahas hasil evaluasi program kerja yang telah dilaksanakan
 Menyusun rekomendasi tentang cara pencegahan dan pengendalian potensi bahaya yang ditemukan
 Menyusus program pelatihan K3 bagi karyawan perusahaan
 Mereview efektifitas sarana pengendalian resiko yang telah dilaksanakan
 Hal-hal lain yang relevan, seperti merencanakan untuk memperingati bulan K3 di perusahaan.
Dalam setiap pertemuan/sidang-sidang P2K3 dapat mengundang para supervisor atau kepala unit kerja yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibicarakan. Hal ini penting, agar para tenaga kerja dapat mengetahui dan mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan oleh panitia.






BAGAIMANA P2K3 DAPAT BEKERJA SECARA EFEKTIF

Terdapat banyak cara yang dapat dilakukan agar organisasi P2K3 dapat berjalan dan berfungsi secara efektif:
a) Para perwakilan yang duduk dalam organisasi P2K3 harus betul-betul mengerti tentang kondisi yang ada di dalam tempat kerja. Hal ini dapat mengurangi kebingungan tentang prosedur kerja dan pengaturan K3 di tempat kerja.
b) P2K3 memerlukan dukungan dari manajemen untuk dapat bekerja secara efektif. Dukungan yang diperlukan antara lain berupa:
 Penyediaan informasi mengenai tempat kerja dan proses-prosesnya
 Penyediaan waktu dan fasilitas untuk menyelenggarakanpertemuan
 Menganjurkan para anggota P2K3 untuk mengikuti training K3
 Penyediaan data statistik, laporan dan bahan referensi yang diperlukan
 Pengesahan aktivitas-aktivitas P2K3, dll.
c) Panitia harus mengadakan pertemuan secara reguler. Frekuensi pertemuan mungkin sebulan sekali, tiga bulan sekali atau tergantung kebutuhan.
d) P2K3 harus mempunyai suatu kejelasan tujuan yang dimengerti oleh seluruh anggotanya.
e) P2K3 harus mempunyai agenda yang tersusun untuk setiap pertemuan, sehingga program yang direncanakan dapat dilaksanakan dengana baik. Setiap anggota P2K3 harus mempunyai kesempatan yang sama untuk menyumbangkan hal-hal yang diagendakan.
f) Suatu hal yang sangat penting adalah bahwa salah satu senior manajer harus duduk di dalam kepengurusan, sehingga setiap keputusan dapat segera diambil.
g) Efektivitas kerja P2K3 sangat ditentukan oleh kemampuan personel yang terlatih baik dari sisi manajemen maupun dari sisi pekerja. Dengan demikian, pemahaman tentang isu-isu K3 sangat vital dan dipahami oleh kedua belah pihak.
h) Peran dari ahli K3 di dalam P2K3 adalah sebagai penasehat atau pemberi saran, sehingga harus berada pada posisi yang netral, tetapi memberikan saran teknis dan informasi lainnnya yang diperlukan untuk kepentingan organisasi.
i) Perwakilan pekerja yang duduk didalam keanggotaan P2K3 harus dipilih oleh para pekerja dan mencerminkan keberadaan berbagai serikat pekerja yang ada di tempat kerja.
j) Kehadiran secara reguler oleh seluruh anggota P2K3 merupakan hal yang penting, dan tidak hanya untuk membangun hubungan di dalam organisasi, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa anggota melihat K3 sebagai suatu prioritas. Kehadiran secara reguler dari anggota juga dapat membantu mengembangkan kerjasama didalam penyelesaian masalah-masalah K3 yang dihadapi.
BAGAIMANA P2K3 MELAPORKAN KEGIATANNYA

Atas operasioanal kegiatan P2K3, maka ketua P2K3 harus membuat dan menyampaikan laporan secara reguler baik kepada pemerintah maupun kepada pimpinan perusahaan yang bersangkutan. Laporan kegiatan P2K3 kepada pemerintah disampaiakan kepada Kepala Dinas atau kepala Kantor yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten atau kota setempat dalam bentuk laporan triwulan dan ditembuskan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja Propinsi dan Dewan K3 Propinsi. Sedangkan laporan kepada pimpinan perusahaan yang bersangkutan dibuat dan disampaikan setiap setelah diselenggarakan pertemuan baik pertemuan rutin maupun pertemuan khusus.
TRANSMIGRASI DAN PENGANGGURAN

TRANSMIGRASI DAN PENGANGGURAN

TRANSMIGRASI, PERSOALAN DAN SOLUSI MENGATASI PENGANGGURAN
Banyak diantara kita, aparatur penyelenggara dan pelaksana bertanya tentang eksistensi dan kelanjutan program transmigrasi. Hal itu sangat dipahami, karena perubahan demi perubahan bergerak sangat cepat dan jauh lebih cepat daripada antisipasinya. Perubahan itu disebabkan oleh banyak faktor. Disatu sisi disebabkan oleh berkembangnya kondisi lingkungan strategis yang tidak secara langsung terkait dengan pepindahan transmigrasi, dan di lain pihak adanya upaya reorientasi kebijakan dan strategi serta reposisi terhadap peran birokrasi dalam pelayanan perpindahan transmigrasi. Hiruk pikuk penafsiran terhadap Otonomi Daerah tampaknya juga memberikan andil cukup besar terhadap beragamnya persepsi aparatur penyelenggara dan pelaksana. Tentu saja hal demikian tidak bisa dibiarkan, karena masyarakatlah yang akhirnya akan menjadi korban.A. Latar Belakang
Dalam masa transisi ini, program perpindahan transmigrasi dihadapkan tehadap persoalan yang dilematis. Di satu sisi masih dirasakan sebagai kebutuhan dan sisi lain ditanggapi secara skeptis. Dirasakan sebagai kebutuhan, karena beberapa daerah beranggapan bahwa perpindahan transmigrasi merupakan jalan pintas untuk memicu dan memacu pertumbuhan daerah, namun hal tersebut sering ditanggapi secara skeptis karena kurang adanya keterkaitan secara fungsional antara perpindahan transmigrasi dengan kepentingannya.
Terlepas dari silang persepsi terhadap program perpindahan transmigrasi, realitas menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih membutuhkan untuk (minimal) dua hal pokok, yaitu:
• Pertama, bagi daerah–daerah yang menyadari bahwa potensi sumber daya yang dimiliki tidak akan bermakna tanpa didukung sumber daya manusia yang memadai. Bagi daerah – daerah seperti ini tentu tetap berharap agar program perpindahan transmigasi dilanjutkan.
• Kedua, bagi daerah–daerah yang menyakini bahwa kemampuan yang dimiliki masyarakatnya hanya sebatas mengolah lahan secara tradisional. Bagi daerah-daerah seperti ini, transmigrasi dianggap cara yang tepat untuk memperoleh sumber pendapatan tetap melalui penyediaan lahan sesuai dengan kompetensinya.

Dari kedua hal pokok tersebut, persoalanya adalah, bagaimana caranya merancang program perpindahan transmigrasi yang paling murah dan bermanfaat bagi masyarakat. Bermanfaat bagi masyarakat?... Tampaknya pertanyaan sederhana itu adalah persoalan yang besar yang perlu kesepahaman dan kesepakatan, karena program perpindahan transmigrasi yang akan ditawarkan kepada masyarakat adalah program bersama dari minimal melibatkan dua pemerintah daerah.
Program transmigrasi ditunjukan untuk dua hal, yaitu; pertama, untuk memberikan peluang berusaha dan kesempatan bekerja kepada anak bangsa ini secara terintegrasi dengan upaya pemberdayaan potensi sumberdaya kawasan yang belum kita manfaatkan. Kedua yang berjangka panjang, adalah untuk menciptakan kondisi yang medorong terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa sebagai pilar utama berdiri tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari tujuan filosofis itu jelas. Kita baru saja kehilangan Ligitan dan Sidapan, karena kedua pulau itu terbengkalai tak terjamah, sehingga pihak lain meng-klaim sebagai tak bertuan. Demikian pula di daerah perbatasan yang pada umumnya kondisinya jauh tertinggal jika dibandingkan dengan kondisi sebelahnya yang merupakan wilayah negara tetangga. Oleh karena itu salah satu sasaran program transmigrasi adalah pemberdayaan potensi sumber daya milik bangsa yang terbengkalai itu, agar tidak lagi diincar oleh orang lain, tetapi justru didayagunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan bangsa.
Sejak awal, program transmigrasi dirancang oleh pemerintah dengan sejumlah alasan yang masuk akal. Meski program ini diadopsi oleh para fuonding fathers dari pemerintah kolonial Belanda yang bernama kolonisasi, namun ternyata membuahkan kesamaan visi bahwa Indonesia memang memerlukan program perpindahaan penduduk ini. Adanya disparitas yang begitu tajam antara kuantitas dan kualitas penduduk yang tinggal di pulau Jawa, pada awalnya menjadi alasan utama mengapa trasmigrasi diselenggarakan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, transmigrasi juga berkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan transmigran dan penduduk setempat, pertumbuhan ekonomi suatu kawasan sekaligus memacu perkembangan daerah.
Konsentrasi penduduk pada satu wilayah juga akan menyulitkan pemerintah dalam melaksakan pembangunan. Di satu sisi pembangunan akan terpusat di pulau Jawa, sedangkan di tempat lain akan semakin tertinggal. Begitu pula dengan kegiatan investasi, umumnya para investor akan melirik pulau Jawa karena berbagai infrastruktur telah tersedia. Selain itu karena jumlah penduduknya pula, pulau Jawa menjadi surga para investor untuk menjual produknya. Dengan demikian modal yang telah diinvestasikan akan cepat kembali (Break Event Point) dan memberikan keuntungan. Oleh sebab itu, melalui program trasmigrasi kita pecahkan masalah kependudukan kita terutama dari aspek kualitas dan penyebaranya untuk meratakan pembangunan. Karena dengan alasan keterbatasan jumlah penduduk pula menyebabkan biaya pembangunan menjadi begitu mahal dan tidak ekonomis

B. Kritik, Sindiran, Permasalahan dan Solusi Transmigrasi

Sampai saat ini masih banyak sindiran, kritikan dan pernyataan negatif seputar penyelenggaraan transmigrasi. Namun di sisi lain ternyata juga masih banyak masyarakat yang memerlukan dan menginginkan bahwa progam transmigrasi harus tetap berlanjut. Terhadap pihak-pihak yang mempertanyakan keberadaan transmigrasi dan yang menyatakan agar transmigrasi dihentikan, pada dasarnya merupakan kritik yang perlu disikapi secara arif dan positif.
Adanya pertanyaan dan pernyataan miring itu justru akan mendorong kita untuk instropeksi dan segera mencari akar persoalan sebagai penyebab permasalahan.

Berdasarkan data dan pengamatan di lapangan, paling tidak terdapat 5 [lima] penyebab masalah transmigrasi yang perlu mendapatkan perhatian secara serius. Permasalah-permasalahan tersebut adalah:
1. Banyaknya klaim masyarakat terhadap lahan permukiman transmigrasi. Menghadapi masalah ini, maka dalam membangun Permukiman Transmigrasi Baru (PTB), lokasi-lokasi yang diusulkan menjadi permukiman transmigrasi hanya lokasi atau kawasan yang benar-benar clean and clear. Artinya bahwa sudah tidak ada persoalan dengan aspek pertanahan. Selain itu, masyarakat setempat harus benar-benar memahami dan menyadari bahwa pembangunan permukiman transmigrasi di daerahnya dilaksanakan dalam kerangka memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Selanjutnya. Sebelum suatu kawasan atau lokasi diusulkan, perlu dikomunikasikan terlebih dulu dengan masyarakat setempat, karena pada hakekatnya masyarakatlah yang akan merasakan manfaatnya. Dengan demikian, keberadaan suatu lokasi atau kawasan permukiman transmigrasi bukan lagi atas keinginan pemerintah atau elit, tetapi karena kebutuhan masyarakat.

2. Adanya lokasi permukiman transmigrasi yang kurang berkembang, yang mengakibatkan transmigran meninggalkan lokasi atau bahkan mengajukan tuntutan. Masalah inilah yang mengembangkan pandangan negatif terhadap program transmigrasi. Untuk menghadapi hal tersebut, kita tidak perlu berpolemik tentang siapa yang salah, tetapi yang terpenting adalah agar persoalan Permukiaman Transmigrasi yang sudah Ada [PTA] perlu prioritas dalam penanganan. Untuk menghindari kemungkinan timbulnya permasalahan serupa dikemudian hari, maka dalam menetapkan permukiman transmigrasi yang dikembangkan melalui kerjasama kemitraan agar memiliki prospek usaha yang jelas dan memberikan keuntungan bagi transmigran maupun investor secara berkelanjutan.

3. Adanya permukinan transmigrasi yang dirasakan menjadi beban pemerintah daerah setempat, karena perkembangannya justru menjadi desa tertinggal. Dalam hal ini, kita perlu mencermati dan memahami secara jelas persoalan yang ada di desa-desa eks unit Permikinan Transmigrasi [UPT], sehingga ditemukan solusi yang tepat dan bermanfaat.
4. Adanya transmigran yang kembali ke daerah asal tentunya dengan berbagai alasan dengan menyebarkan berita negatif. Walaupun potensinya relatif kecil dibanding jumlah transmigran yang di tempatkan, namum kepulangan transmigran ke daerah asal ternyata menjadi persoalan berat bagi pemerintah daerah. Berdasarkan informasi di lapangan, banyak transmigran yang kembali karena diintimidasi penduduk setempat dan setelah mereka kembali dan setelah mereka pulang ke daerah asal, rumah yang ditinggalkan langsung dihuni oleh penduduk setempat. Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya tidak membangun Permukiman Transmigrasi Baru [PTB] jika masyarakat setempat tidak membutuhkan kehadiran transmigran.

5. Adanya permukiman yang dibangun secara ekslusif yang mengakibatkan kecemburuan dari masyarakat di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena kurang adanya keterkaitan dengan lingkungan sekitar serta adanya perlakuan yang dianggap lebih baik kepada transmigran pendatang. Untuk menghindari persoalan ini, maka ditetapkan kebijkan pemerintah dalam bidang transmigrasi yaitu: (1) permukiman transmigrasi dibangun dalam skala besar dimana masyarakat sekitar permukiman termasuk ke dalam pembinaan dan pemberdayaan; (2) pelaksanaan transmigrasi dilaksanakan melalui mekanisme kerjasama antar daerah; dan (3) komposisi penempatan 50% penduduk daerah setempat dan 50% penduduk dari transmigran pendatang. Dengan kebijakan seperti tersebut diharapkan terjadi keadilan dan proporsional antara penduduk setempat dan transmigran pendatang.

C. Tiga Kegiatan Utama Transmigrasi

Berdasarkan Undang–Undang No. 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, dan Peraturan Pemerintah No. 02 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan transmigan dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunaan daerah, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Sesuai dengan tujuan tersebut maka transmigrasi masih sangat relevan di era Otonomi Daerah saat ini, meskipun dalam pelaksanaanya diperlukan adanya penyesuaian agar sejalan dengan Undang–Undang No.22 tahun 1999 dan Undang–Undang No. 25 tahun 1999. Selanjutnya, pemerintah menetapkan dan merumuskan kegiatan transmigrasi yang dijalankan, haruslah meliputi 3 [tiga kegiatan] utama yaitu:
a. Perpindahan transmigrasi;
b. Pemanfaatan ruang;
c. Pemberdayaan masyarakat

Dengan demikian maka harus ada daerah atau wilayah asal transmigran dan daerah atau wilayah penempatan trasmigran, baik dalam satu kabupaten yang sama, provinsi yang sama maupun antar provinsi. Situasi ini yang menuntut perubahan pendekatan pembangunan transmigrasi ke arah desentralistik dan aspiratif, yang diikuti tuntutan perubahan peran pemerintah daerah, LSM dan masyarakat harus semakin nyata dalam pembangunan transmigrasi. Sejalan dengan hal tersebut, maka langkah–langkah yang diperlukan adalah adanya kewengan disertai pelimpahan anggaran yang besar kepada pemerintah daerah.

D. Transmigrasi Merupakan Solusi Mengatasi Pengangguran

Mengawali Tahun 2000, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, telah terjadi perubahan mendasar dalam sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perubahan itu sebenarnya adalah suatu keniscayaan, karena dalam hidup ini hanya ada satu yang pasti yaitu perubahan. Karena itu ada pepatah mengatakan siapa yang tidak mau melakukan perubahan niscaya ia akan diubah oleh perubahan jaman itu sendiri.
Dalam proses penyelenggaraan transmigrasi yang merupakan fenomena kependudukan yang unik di negeri ini, perubahan yang terjadi sejak awal tahun 2000 juga banyak berpengaruh dan bahkan terjadi berbagai goncangan. Jika pada era sebelumnya program transmigrasi diterima secara utuh oleh seluruh komponen bangsa ini sebagai program nasional dengan tujuan filosofis yang sangat mulia. Dengan berbagai kekurangannya, realitas menunjukkan bahwa program-program transmigrasi selama ini telah memberikan konstribusi yang cukup berarti bagi pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan bangsa. Dibalik konstribusi transmigrasi yang cukup besar bagi pembangunan bangsa ini, masih ada berbagai kelemahan dan kekurangan yang perlu pembanahan. Kelemahan yang perlu dibenahi antara lain adalah :
1. Sistem pembangunan lokasi pemukiman transmigrasi yang eksklusif dan standar.
2. Pelaksanaan perpindahan yang berorientasi kepada supply aproach.
3. Sistem perencanaan dan pengolahan pembangunan transmigrasi yang sentralistik yang dirasakan kurang memperhatikan potensi daerah serta aspirasi masyarakat setempat.

Sistem pelaksanaan seperti inilah yang menimbulkan masalah ketidakharmonisan hubungan antara transmigran pendatang dengan penduduk setempat di beberapa daerah, karena pertumbuhan lokasi-lokasi transmigrasi yang eksklusif cenderung lebih cepat dibanding dengan desa-desa lama. Tanpa bermaksud untuk mempertahankan diri dengan menyadari kekurangan dan kelebihannnya bahwa transmigrasi saat ini dan kedepan tetap merupakan program andalan yang akan mampu menjawab tantangan bangsa Indonesia. Ada beberapa tantangan yang saat ini menjadi persoalan, yang dapat kita jawab dengan program transmigrasi, yaitu:
1. Kebutuhan pemulihan ekonomi yang terpuruk akibat krisis yang berkepanjangan. Menghadapi kebutuhan pemulihan ekonomi maka persoalan kemiskinan, pengangguran dan ketahanan pangan yang merupakan akar persoalan perekonomian kita. Oleh karena itu pengarahan dan pelayanan mobilitas penduduk melalui transmigrasi yang dilaksanakan dengan memberdayakan potensi sumber daya kawasan, kiranya akan mampu menjawab ketiga akar persoalan tersebut. Melalui pemberdayaan potensi sumberdaya kawasan yang selama ini belum dimanfaatkan berarti transmigrasi akan mampu menyediakan peluang berusaha dan kesempatan bekerja bagi penduduk miskin dan penganggur terutama pada sektor-sektor perkebunan, pertanian dan sektor informal lainnya.

2. Kebutuhan integrasi nasional sebagai prasyarat berdiri tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menghadapi kebutuhan integrasi nasional, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan etnis suku bangsa cukup rentan terhadap bahaya disintegrasi. Ketimpangan antar wilayah dan antar individu yang sampai saat ini belum berhasil diatasi secara tuntas masih memerlukan serangkaian upaya penataan persebaran penduduk yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan. Menghadapi persoalan ini maka tujuan filosofis transmigrasi sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa sebagai prasyarat berdiri tegaknya Negara Kesatuan republik Indonesia tampaknya masih relevan untuk kita pertahankan, walaupun perlu penyesuaian dalam implementasinya. Berbaurnya berbagai etnis suku bangsa dalam satu pemukiman transmigrasi yang menyatu dengan desa-desa penduduk setempat, walaupun memiliki potensi konflik namun jika dikelola dengan baik justru akan mampu menjadi wahana pembentukan karakter bangsa yang Bhineka Tunggal Ika.
Memahami betapa besar persoalan bangsa yang kita hadapi serta dengan belajar dari sejarah panjang penyelenggaraan transmigrasi selama ini, maka kebijakan transmigrasi kedepan lebih diarahkan kepada hal-hal pokok sebagai berikut:
a. Regulasi transmigrasi dilaksanakan secara proposional dan berkeadilan. Artinya, fasilitasi dan pelayanan transmigasi didasarkan kepada dua pendekatan pokok, yaitu pendekatan kemampuan transmigrasi dan kondisi lokasi yang dikembangkan. Bagi masyarakat miskin yang bertransmigrasi ke wilayah–wilayah tertinggal, fasilitas pemeintah diberikan secara penuh melalui mekanisme Transmigrasi Umum (TU). Bagi masyarakat miskin yang bertransmigrasi ke wilayah yang sudah berkembang, fasilitas pemerintah Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB). Sedangkan bagi masyarakat yang tidak miskin yang bertransmigrasi ke wilayah yang telah maju dan telah tersedia infrastuktur, pemerintah hanya akan memberikan fasilitasi dan pelayanan umum melalui mekanisme Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM).

b. Transmigrasi dilaksanakan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah setempat sesuai dengan potensi yang dimiliki dan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan transmigrasi kedepan harus merupakan bentuk pembangunan gotong royong antara pemerintah daerah asal dan daerah tujuan dalam kedudukannya masing-masing sebagai daerah otonom. Sedangkan pemerintah pusat hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator serta memberikan dukungan pembiayaan yang belum mungkin ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu pembangunan trasmigrasi pasti melibatkan minimal dua daerah sebagai daerah asal dan daerah tujuan, maka pelaksanaan pembangunan transmigrasi harus didasarkan atas kerja sama antar kedua pemerintah daerah dengan dukungan dana APBD masing–masing, Dengan demikian, jika pemerintah daerah merasa membutuhkan adanya program transmigrasi di daerahnya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi, sebelumnya harus didahului dengan pernyataan masyarakat bersama pemerintah setempat yang dituangkan kedalam naskah kesepakatan bersama dan naskah pejanjian bersama.

c. Transmigrasi dilaksanakan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat bersama pemerintah setempat. Oleh karena itu dalam merancang program transmigrasi harus didasarkan kebutuhan nyata untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.

d. Pembangunan pemukiman transmigrasi diarahkan untuk (1) mempercepat pembangunan perdesaan, (2) mendorong pusat pertumbuhan yang ada maupun yang baru dan (3) menciptakan daya tarik bagi arus mobilitas penduduk yang terarah, tertib, teratur dan mandiri.

e. Transmigrasi dilaksanakan berdasarkan pendekatan mobilitas penduduk yang merupakan gejala manusiawi dan sudah ada sejak adanya peradaban manusia. Oleh karena mobilitas penduduk terjadi karena adanya reaksi atas kekurangan di tempat asal dan kelebihan di tempat tujuan, maka pembangunan pemukiman transmigrasi harus mampu memenuhi kekurangan yang ada di tempat asalnya.

Selanjutnya, untuk menghadapi pelaksanaan program trasmigrasi ke depan, arah kebijakan yang perlu ditetapkan adalah sebagai berikut :
a. Pembangunan transmigrasi harus mampu memberikan peluang untuk perluasan kesempatan kerja. Oleh karena itu, pembangunan pemukiman dan penempatan transmigrasi diprioritaskan kepada usaha pokok perkebunan, walaupun tidak mengabaikan sama sekali usaha pokok lainya.
b. Pembangunan transmigrasi harus memprioritaskan kepada penyelesaian persoalan Pemukiman Transmigrasi yang Ada (PTA). Oleh karena itu, bagi daerah–daerah yang masih menghadapi persoalan dengan PTA, agar menghindari untuk melaksanakan pembangunan Pemukiman Transmigrasi Baru (PTB).

E. Implementasi Program Transmigrasi di Kabupaten Sragen

Pada dasarnya tujuan dari penyelenggaraan program transmigrasi secara umum adalah untuk:
 Menciptakan iklim kondusif yang dapat mempercepat adaptasi calon transmigran dengan lingkungan masyarakat sekitar.
 Memberdayakan transmigran agar memerankan diri sebagai tenaga kerja produktif untuk mengembangkan potensi dilokasi pemukiman.
 Menciptakan jaminan keamanan dilokasi transmigrasi dan dapat diterima oleh penduduk setempat.

Selanjutnya, untuk memberikan bekal ketrampilan bagi calon transmigran, pemerintah daerah mengadakan pelatihan sesuai dengan kebutuhan di daerah tujuan dan bekerjasama dengan Dinas terkait di bidang Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Pertukangan.
Untuk memberikan penghidupan yang layak bagi warga Sragen yang kurang mampu, maka program transmigrasi ini harus terus diupayakan dan diberikan perlindungan sampai mereka mampu berusaha secara mandiri.

Animo masyarakat Sragen untuk menjadi peserta transmigran sebetulnya masih cukup tinggi, meskipun jumlah yang ditempatkan mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Tetapi di sisi lain, sebetulnya tingkat kemakmuran di Sragen sudah cukup bagus dan cukup tersedia lapangan pekerjaan. Di samping itu, kultur dan sosial beberapa daerah tujuan transmigrasi kurang sesuai bagi masyarakat Sragen, sehingga hal ini sering kali menjadikan kendala dalam implementasi program transmigrasi. Berdasarkan data pemberangkatan, bahwa pada tahun 2007 terdaftar calon peserta transmigran sebanyak 57 KK; 218 jiwa. Sedangkan yang dapat diberangkatkan sebanyak 20 KK; 65 jiwa dengan daerah tujuan Mahalona Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah pemberangkatan transmigran pada tahun 2007 tersebut jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum sedikit mengalami penurunan, dimana pada tahun 2006 diberangkatkan sebanyak 22 KK; 73 jiwa, pada tahun 2005 diberangkatkan sebanyak 45 KK; 151 jiwa dan tahun 2004 sebanyak 40 KK; 141 jiwa. Masalah jumlah pemberangkatan transmigrasi tersebut sebenarnya sangat terkait dengan alokasi anggaran dari pemerintah pusat yang diberikan ke pemerintah daerah yang jumlahnya sangat terbatas, sehingga masih banyak pendaftar yang masih belum dapat ditempatkan.
Pada akhir bab ini, akan disampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan program transmigrasi jangka panjang, untuk menjadikan perhatian, bahan renungan dan pemikiran kita, sehingga program transmigrasi menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bangsa, negara dan masyarakat luas, yaitu:
1. Pembangunan Permukiman Transmigrasi Baru [PTB] sebaiknya lebih diarahkan untuk kawasan besar yang memiliki skala ekonomi, sehingga memungkinkan dikembangkannya suatu komoditas unggulan yang mampu memberikan kontribusi bagi tumbuh kembangnya aktivitas sosial ekonomi masyarakat dan pertumbuhan daerah. Istilah kawasan besar bukan berarti hanya kawasan kosong yang tidak berpenduduk, tetapi juga dapat berupa pengembangan desa-desa setempat, sehingga pemberdayaannya menjadi satu kesatuan komunitas masyarakat binaan transmigrasi.
2. Perlunya pengembangan mekanisme kerjasama antar pemerintah daerah asal dan pemerintah daerah tujuan transmigrasi untuk mengantisipasi berbagai kendala dan permasalahan yang selama ini sering terjadi.
3. Dalam pemberdayaan masyarakat, sebaiknya tidak lagi memberikan input standar, tetapi harus dirancang berdasarkan hasil pemetaan kondisi riil di lapangan. Dengan demikian, program yang dikembangkan akan dapat mengantisipasi persoalan yang dihadapi serta mampu membangun komunitas masyarakat yang maju dan mandiri.
4. Dalam pengembangan transmigrasi, perlu didukung suatu penelitian dan pengembangan yang tepat dan akurat. Untuk itu, jejaring penelitian, pengembangan dan informasi ketransmigrasian harus terus dilakukan dan dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan di daerah.
PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN UNTUK MENCIPTAKAN
DUNIA USAHA YANG KONDUSIF
A. Strategi Meningkatkan Pemahaman Aspek Hubungan Industrial
Sebagaimana kita ketahui bahwa globalisasi telah membawa dampak terhadap pergeseran sistem tata nilai yang dianut oleh masyaraakat. Sistem tata nilai yang didukung oleh akselerasi perkembangan IPTEK telah menempatkan kita pada posisi yang mau tidak mau, suka tidak suka dan siap atau tidak siap harus melakukan perubahan dan penyesuaian. Karena tidak ada satupun negara di belahan dunia ini yang menutup diri terhadap penetrasi faktor eksternal yang didorong oleh derasnya arus informasi teknologi, sehingga batas-batas antar negara baik secara fisik, ekonomi, politik, sosial maupun budaya semakin pudar. Sementara itu, perubahan yang sangat signifikan terjadi pada pola hubungan dalam dunia bisnis yang berbasis pasar baik pada skala lokal, regional maupun internasional yang menyebabkan tajamnya tikat kompetisi. Perubahan tersebut sangat dirasakan dampaknya dalam Hubungan Industrial. Tuntutan universal yang lebih didominasi oleh alasan kemanusiaan seperti; alasan demokrasi, hak azasi manusia dan lingkungan hidup yang semakin inten. Dengan demikian perlu peningkatan efektivitas pelaksanaan Hubungan Industrial agar lebih merangsang investasi serta membuka kesempatan kerja dan mampu memberikan kontribusi terhadap pemulihan kondisi ekonomi dan politik.
Perubahan lingkungan strategis di satu sisi mendorong intensitas kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengusaha, tetapi pada sisi lain membawa perubahan paradigma bisnis yang mengarah pada kebijakan efisiensi karena kompleksitas permasalah ketenagakerjaan. Sejalan dengan kebijakan OTODA, maka secara operasional tugas-tugas dan kewenangan ketenagakerjaan menjadi milik pemerintah daerah. Dengan demikian, konsep sistem Hubungan Industrial harus mampu memberikan panduan bagi pemecahan masalah sektoral daerah.
Secara tipikal, pola hibungan industrial dapat dikelompokkan melalui 2 [dua] pendekatan yaitu engineering approaches dan behavioral approaches. Di era global ini, keberhasilan perusahaan baik dalam persaingan internal maupun eksternal perlu membangun budaya korporasi dengan basis hubungan egaliter antar pemilik, manajemen dan pekerja /buruh. implementasi kedua pendekatan yaitu engineering approaches dan behavioral approaches ternyata telah mampu membuat kesuksesan pada perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju. Perusahaan-perusahaan tersebut menekankan kontribusi setiap pekerja dalam pemecahan masalah melalui kesepakatan kelompok. Hal tersebut memberikan tempat bagi berlangsungnya hubungan industrial yang lebih harmonis dan dinamis.

B. Langkah strategis Menciptakan Hubungan Industrial yang Harmonis dan Dinamis

Fenomena globalisasi tidak hanya merupakan interkoneksi antara masyarakat dunia satu sama lainnya, tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan strategis, baik internal maupun eksternal di bidang sosial, ekonomi, budaya , teknologi dan lainnya. Di negara kita, perubahan lingkungan strategis ini semakin cepat karena dipicu oleh bergulirnya reformasi yang menuntut perubahan di berbagai bidang. Di bidang ketenagakerjaan, telah diretifikasi Konvensi ILO No. 87 melalui Keppres 83 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Bernegosiasi.
Kebebasan berserikat di perusahaan telah mempengaruhi pelaksanaan hubungan kerja, sehingga diperlukan penanganan yang lebih komunikatif dalam dunia usaha. Oleh karena itu, setiap elemen harus mampu mengembangkan berbagai strategi perubahan yang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat pekerja.
Sejalan dengan terjadinya perubahan, pekerja memerlukan kesejahteraan yang semakin meningkat, ada kepastian hubungan kerja dan pengakuan keberadaan pekerja untuk mengaktualisasikan dirinya melalui kebebasan berserikat, mengemukakan pendapat serta menyalurkan aspiransinya. Apabila hal tersebut tidak dapat terakomodasi dengan baik, maka akan dapat menimbulkan gejolak berupa aksi mogok kerja. Mogok kerja atau unjuk rasa terjadi mungkin karena lemahnya advokasi, sehingga aspirasi pekerja tidak dapat disikapi dengan baik. Aspirasi yang tidak tersalurkan dengan memadai akan terakumulasi menjadi tuntutan yang segera terwujudkan dalam bentuk apapun. Terakumulasinya berbagai tuntutan pekerja, baik yang menyangkut pelaksanaan fungsinya sebagai pekerja maupun dalam organisasi akan menimbulkan dorongan besar untuk menggalang solidaritas yang lebih besar pula. Dari berbagai fakta yang ada, kasus-kasus unjuk rasa yang terjadi disebabkan karena berbagai hal, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya tingkat kesejahteraan, sehingga mendorong solidaritas masyarakat untuk menuntut perbaikan yang dilakukan melalui unjuk rasa untuk mendapat perhatian.
2. Rendahnya tingkat pendidikan, sehingga mudah dipengaruhi tanpa melalui nalar dan memikirkan akibat yang mungkin timbul, sebagai dampak negatif dari unjuk rasa atau mogok kerja.
3. Tersumbatnya jalur-jalur penyampaian aspirasi yang dapat memberikan solusi dari permasalahan yang dihadapi.
4. Kurangnya respon pihak-pihak terkait terhadap situasi dan kondisi yang sedang berkembang yang menyebabkan permasalahan tidak segera terselesaikan.
5. Besarnya keinginan masyarakat untuk segera memperoleh perubahan atau perbaikan, yang sering kali tanpa mempertimbangkan potensi dan kendala yang dihadapi.
6. Tingginya tingkat kecurigaan terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak sejalan dengan kelompoknya, sebagai dampak dari kurangnya transparansi.
7. Komunikasi yang dilakukan masih cenderung instruksional, sedangkan yang dibutuhkan masyarakat adalah komunikasi dialogis.

Dalam upaya mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial, maka peranan pengusaha dan pekerja sangat penting dalam upaya menciptakan ketenangan bekerja dan kemajuan usaha. Serikat pekerja merupakan sarana untuk memperjuangkan hak pekerja dan menciptakan hubungan industrial yang aman dan harmonis. Dengan demikian pekerja dan serikat pekerja harus memiliki rasa tanggung jawab atas kelangsungan hidup perusahaan dan sebaliknya pengusaha harus memperlakukan pekerja sebagai mitra sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang harus terus ditingkatkan kesejahteraannya.
Upaya untuk mengembangkan dunia kerja yang kondusif tidaklah mudah dan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Oleh karena itu pengusaha dan pekerja harus ikut menciptakan hubungan kerja yang kondusif melalui manajemen yang sepadan tentang hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerjanya. Dalam manajemen hubungan industrial, antara pekerja dan pengusaha sangat penting untuk memahami prinsip-prinsip dalam hubungan industrial, sebagai berikut:
1. Pengusaha dan pekerja, sama-sama mempunyai kepentingan atas keberhasilan dan kelangsungan hidup perusahaan. Kedua belah pihak harus memberikan upaya maksimal melalui pelaksanaan tugas pekerjaannya.
2. Pekerja adalah mitra pengusaha dalam menjalankan roda perusahaan. Perusahaan tidak mungkin jalan dan berkembang tanpa kedua belah pihak.
3. Pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan fungsional, dan kedua belah pihak mempunyai fungsi yang berbeda tetapi tujuannya tetap sama yaitu untuk kemajuan perusahaan dan peningkatan kesejahteraan.
4. Pengusaha dan pekerja merupakan anggota keluarga perusahaan yang tidak terpisahkan.
5. Tujuan pembinaan hubungan industrial adalah untuk menciptakan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja, sehingga produktivitas kerja dapat ditingkatkan secara optimal.
6. Peningkatan produktivitas perusahaan harus dapat memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan bersama, yaitu kesejahteraan pengusaha dan pekerjanya.

C. Upaya Mengantisipasi Permasalahan Perburuhan

Dalam upaya untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang muncul dan semakin marak dewasa ini, maka diperlukan langkah-langkah bijak dan konstruktif dari berbagai pihak yang terkait.
1. Upaya Preventif.
Kondisi ketenangan bekerja dan kemajuan usaha perusahaan adalah suatu keadaan ideal yang diinginkan oleh semua pihak. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya preventif, sehingga daya tahan perusahaan secara nyata dapat ditingkatkan. Dengan demikian, peran pengusaha sangat penting dan dapat dilakukan dengan cara:
 Melaksanakan hak-hak pekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Memberikan perhatian terhadap kesejahteraan pekerja, sesuai prinsip kemitraan dalam hal pembagian keuntungan.
 Menciptakan komunikasi yang baik secara dua arah dengan pekerja atau serikat pekerja/buruh. Melalui komunikasi akan dapat dibahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang sedang dan akan terjadi, seperti; adanya kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi hubungan industrial.
 Melakukan pengembangan SDM, sebagai upaya untuk meningkatkan gairah kerja, kepuasan kerja dan produktivitas kerja melalui pelatihan dan pembinaan karier.
 Segera menyelesaikan komplain-komplain yang muncul, sehingga tidak terakumulasi yang dapat menimbulkan perselisihan perburuhan yang akan diikuti dengan tindakan mogok kerja atau unjuk rasa.

2. Upaya Represif.
 Dalam proses produksi, benturan hak dan kepentingan antara pekerja dan pengusaha sering kali sulit untuk dihindarkan. Oleh sebab itu, untuk mencegah permasalah ini menjadi berlarut-larut maka diperlukan penanganan masalah hubungan industrial secara cepat, tepat dan konsisten serta sesuai dengan koridor hukum dan peraturan perundangan yang berlaku.
 Timbulnya masalah ketenagakerjaan dapat disebabkan oleh pengusaha yang tidak melaksanakan hak-hak pekerja yang bersifat normatif dan yang telah diatur dalam Peraturan Perusahaan [PP] dan Perjanjian Kerja Bersama [PKB], untuk itu, secara terus menerus perlu dilakukan tindakan peningkatan efektivitas penegakan pelaksanaan hukum [law enforcement] kepada pihak yang melanggar melalui BAP.
 Upaya-upaya represif ini, harus didukung dengan peningkatan kualitas SDM pegawai pengawas dan pegawai perantara agar lebih profesional dalam melaksanakan tugasnya. Sejalan dengan upaya peningkatan profesionalisme aparatur tersebut, perlu pula dukungan semua pihak terhadap penyempurnaan mekanisme dan jaringan kerja operasionalnya.
 Dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, sangat diperlukan kemauan untuk membenahi mekanisme operasional pelaksanaan tugas dan fungsi pegawai pengawas dan pegawai perantara, sehingga struktur organisasi dan hirarki kewenangan tidak menjadi hambatan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.
 Selain upaya represif dari pemerintah tersebut, pengusaha dan pekerja harus mampu memilah sikap yang ditempuh dengan mengutamakan substansi penyelesaian masalah hubungan industrial dari pada mempersoalkan kompetensi penangannya.

D. Upaya Mewujudkan Tanaga Kerja Sehat dan Produktif Agar Berdaya Saing Tinggi

Penggunaan teknologi maju sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara luas, namun tanpa disertai dengan pengendalian yang tepat akan dapat merugikan manusia itu sendiri. Penggunaan teknologi maju tidak dapat dielakkan, terutama pada era industrialisasi yang ditandai adanya proses mekanisasi, elektrifikasi dan modernisasi serta transformasi globalisasi. Dalam keadaan demikian penggunaan mesin-mesin, pesawat, instalasi dan bahan-bahan berbahaya akan terus meningkat sesuai kebutuhan industrialisasi. Hal tersebut di samping memberikan kemudahan bagi suatu proses produksi, tentunya efek samping yang tidak dapat dielakkan adalah bertambahnya jumlah dan ragam sumber bahaya bagi pengguna teknologi itu sendiri. Di samping itu, faktor lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), proses kerja tidak aman, dan sistem kerja yang semakin komplek dan modern dapat menjadi ancaman tersendiri bagi keselamatan dan kesehatan pekerja.
Kondisi lain adalah, masih kurangnya kesadaran dari sebagian besar masyarakat perusahaan, baik pengusaha maupun tenaga kerja akan arti pentingnya K3 merupakan hambatan yang sering dihadapi. Berdasarkan data ILO 2003, ditemukan bahwa di Indonesia tingkat pencapaian penerapan kinerja K3 di perusahaan masih sangat rendah.

Dari data tersebut ternyata hanya sekitar 2% (sekitar 317 buah) perusahaan yang telah menerapkan K3. Sedangkan sisanya sekitar 98% (sekitar 14.700 buah) perusahaan belum menerapkan K3 secara baik.
Berdasarkan data Jamsostek, bahwa pengawasan K3 secara nasional masih belum berjalan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kecelakaan yang terjadi, dimana pada tahun 2003 terjadi kecelakaan sebanyak 105.846 kasus, tahun 2004 sebanyak 95.418 kasus, tahun 2005 sebanyak 96.081 kasus dan pada tahun 2006 terjadi kecelakaan sebanyak 70.069 kasus kecelakaan kerja dan sepanjang tahun 2007 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 65.474 kejadian. Angka tersebut tentunya masih sangat fantastis dan dapat dijadikan tolok ukur pencapaian kinerja K3.
Dengan demikian, agar masalah K3 dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan pembinaan dan pengawasan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Oleh karena itu K3 yang merupakan salah satu bagian dari upaya perlindungan tenaga kerja perlu dikembangkan dan ditingkatkan pada setiap tingkatan proses kerja. Hal tersebut dimaksudkan untuk pemenuhan terhadap tercapainya tujuan penerapan K3 di tempat kerja seperti yang diamanatkan oleh UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, dimana:
1) Setiap tenaga kerja dan setiap orang lain yang berada di tempat kerja harus selalu mendapat perlindungan atas keselamatan dan kesehatannya;
2) Setiap sumber produksi dapat dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien;
3) Setiap proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.

Tujuan tersebut di atas baru dapat dicapai antara lain bila kecelakaan termasuk kebakaran, peledakan, pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah dan dikendalikan sampai batas yang tidak membahayakan. Oleh karena itu setiap usaha K3 tidak lain adalah pencegahan dan penanggulangan kecelakaan di tempat kerja. Dengan adanya pengetahuan tentang K3 diharapkan dapat mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Yang mana hal tersebut akan dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kerja, kerugian berupa cacat atau cedera yang bersifat sementara maupun permanen atau bahkan terjadi kematian serta kerusakan properti dan lingkungan.
Dalam upaya untuk menyelenggarakan program pencegahan kecelakaan kerja guna mewujudkan tenaga kerja yang sehat dan produktif, maka komponen-komponen di dalam sistem kerja haruslah dipahami secara baik pula. Komponen-komponen di dalam sistem kerja perusahaan tersebut meliputi 4 [empat] komponen pokok, yaitu:
1) Komponen Tugas-Tugas. Elemen tugas-tugas tertentu yang sedang dikerjakan mungkin mempengaruhi tingkat kekerapan suatu kecelakaan kerja. Tugas-tugas yang dikerjakan mungkin berhubungan dengan kecepatan dan beban tugas berat. Tugas-tugas yang dikerjakan apabila tidak sesuai dengan kemampuan, ketrampilan dan keterbatasan pekerjanya akan mengakibatkan stres, penurunan motivasi, kelelahan yang tidak terkontrol. Interaksi antara pekerja dengan tugas-tugas yang tidak seimbang merupakan penyebab terjadinya kecelakaan.
2) Komponen Pekerja. Di dalam sistem manusia-tugas-peralatan-lingkungan kerja, maka pekerja mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar, yaitu sebagai Sensor, Information Processor dan Control. Agar sistem kerja dapat berfungsi dengan baik terutama untuk tujuan produksi, maka pekerja harus mampu bekerja secara efektif dan menghindari mengambil resiko yang tidak perlu. Untuk maksud tersebut, pekerja harus disadarkan mengenai hal-hal sebagai berikut:
 Persyaratan kerja dan langkah-langkah yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan;
 Kemampuan, kebolehan dan keterbatasanya di dalam melaksanakan tugas-tugasnya;
 Apa yang akan diperoleh jika tugas-tugas telah dikerjakan dan pekerja berhasil dalam pekerjaannya?;
 Apa yang akan terjadi jika tugas-tugas telah dikerjakan dan pekerja gagal dalam tugasnya?;
 Kerugian apa yang akan terjadi jika pekerja tidak melaksanakan tugasnya?, dan lain sebagainya.
3) Komponen Peralatan Kerja merupakan komponen kedua di dalam sistem kerja. Seluruh peralatan kerja harus didesain, dipelihara dan digunakan dengan baik. Pengendalian potensi bahaya dapat dipengaruhi oleh bentuk peralatan, ukuran, berat ringannya peralatan, kenyamanan operator, dan kekuatan yang diperlukan untuk menggunakan atau pengoperasikan peralatan kerja dan mesin-mesin. Variabel-variabel tersebut sangat mempengaruhi interaksi antara pekerja dan peralatan kerja yang digunakan. Variabel-variabel peralatan lainnya yang penting di dalam pengenalan potensi bahaya termasuk kecepatan operasi dan potensi bahaya mekanik.
4) Komponen Lingkungan Kerja. Pertimbangan tertentu harus diberikan terhadap faktor lingkungan kerja (seperti: lay out atau tata letak ruang, kebersihan, intensitas penerangan, suhu, kelembaban, kebisingan, vibrasi, ventilasi, dll.) yang mungkin dapat mempengaruhi kenyamanan, kesehatan dan keselamatan pekerja.
5) Organisasi Kerja. Perilaku manajemen keselamatan kerja kedepan merupakan variabel yang sangat penting di dalam pengembangan program keselamatan kerja di tempat kerja. Struktur organisasi yang mempromosikan kerjasama antara pekerja untuk mengenalan dan pengendalian potensi bahaya akan mempengaruhi perilaku pekerja secara positif. Struktur organisasi tersebut juga akan dapat memotivasi pekerja untuk berperilaku secara hati-hati selama bekerja. Pengembangan organisasi kerja efektif akan sangat menentukan kinerja keselamatan secara umum di tempat kerja dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja. Kondisi organisasi kerja selalu mempengaruhi dan menentukan interaksi pekerja-tugas-peralatan-lingkungan kerja.

K3 merupakan bagian integral dari perlindungan tenaga kerja yang merupakan hak azasi tenaga kerja untuk mendapatkan jaminan keamanan dalam melakukan pekerjaannya serta bekerja dalam lingkungan yang sehat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membangun sistem hubungan industrial yang harmonis di tempat kerja. K3 juga terkait dengan perlindungan lingkungan sekitar perusahaan, maka perhatian juga harus ditujukan kepada masyarakat di sekitar perusahaan agar tidak terkena dampak yang merugikan akibat operasional perusahaan.
Dari pengalaman menunjukkan bahwa tempat kerja yang telah menerapkan K3 dengan baik, pada umumnya mempunyai iklim hubungan industrial yang lebih baik. Salah satu faktor penting dalam penerapan K3 adalah pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan. Peraturan perundangan K3 merupakan standar minimal yang harus diterapkan oleh setiap pengusaha di tempat kerjanya masing-masing. Oleh karena ketentuan K3 bersifat normatif yang diatur dalam Undang-Undang Keselamatan Kerja No. 1 tahun 1970, maka diperlukan pengawasan yang bersifat terus menerus oleh aparat pengawas ketenagakerjaan di daerah, dan setiap pelanggaran atas ketentuan dapat dikenakan sanksi.
Di samping itu K3 juga terkait dengan 3 [tiga] standar utama yaitu standar mutu produk, termasuk di dalamnya standar uji yang mengacu kepada International Standard Organisation [ISO]; standar kompentensi yang mengacu pada standar kualifikasi jabatan internasional dan standar yang mengacu pada standar International labour Organisation [ILO]. Standarisasi pada dasarnya adalah bersifat sukarela [voluntary], namun demikian dapat menajadi wajib [compulsary] apabila diterapkan melalui peraturan pemerintah.

E. Implemetasi Pembinaan Hubungan Industrial yang Harhomis dan Dinamis

Pembangunan Ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2), dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil makmur dan merata baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Berkaitan dengan perlindungan ketenagakerjaan, pemerintah daerah menetapkan kebijakan pembangunan Hubungan Industrial yang diarahkan pada peningkatan kesejahteraan dan Hubungan Industrial antara lain:
1. Pemberian bantuan pinjaman modal secara bergilir kepada keluarga pekerja.
2. Mengadakan koordinasi dengan lembaga Bipartit dan Tripartit dalam membicarakan masalah ketenagakerjaan.
3. Verifikasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh setiap tahun sekali.
4. Peningkatan profesionalisme pekerja, pengusaha dan aparat pemerintah di bidang:
 Hubungan Industrial; melalui pengikut-sertaan dalam Bimtek, Penyuluhan, Seminar dll.
 Peningkatan Pengupahan; yang telah mengikuti standarisasi penghitungan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), di mana pelaksanaan survai KHL dilaksanakan tiap bulan sekali dengan harapan upah minimum tidak jauh selisihnya dengan Kebutuhan Hidup Layak pekerja/buruh.

Pembinaan Hubungan Industrial juga diarahkan pada terwujudnya Hubungan Industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa untuk mencapai Hubungan Industrial yang serasi di perusahaan perlu adanya kerjasama yang baik dan saling terbuka antara Pekerja/Buruh, serta Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pengusaha. Perkembangan Hubungan Industrial dewasa ini ditandai oleh adanya beberapa perubahan sebagai dampak globalisasi dan reformasi yang antara lain meliputi kebebasan berserikat, pelaksanaan HAM, supremasi hukum, otonomi daerah infrastruktur dan iklim infestasi.
Kegiatan Hubungan Industrial merupakan kegiatan penting yang berdampak pada masalah sosial, ekonomi, politik dan kesejahteraan masyarakat. Pada sisi lain kegiatan Hubungan Industrial di Perusahaan tidak akan terlepas dari pengaruh pihak lain di luar perusahaan, dengan demikian menuntut kesiapan kita semua para pengelola sumber daya manusia di perusahaan dan para pekerja serta pengurus SP/SB dan pihak terkait pelaksanaan Hubungan Industrial.
Tujuan umum dari segala proses yang dimaksud adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dalam arti terpenuhinya kebutuhan sosial minimum pekerja, kepada para pekerja dan pengusaha dituntut untuk mampu meningkatkan pemahaman dan dapat melaksanakan seluruh ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tepat dan baik untuk kepentingan semua pihak dalam proses produksi. Mengingat di Kabupaten Sragen tidak sedikit masyarakatnya yang bekerja sebagai pekerja/buruh di perusahaan sehingga situasi yang kondusif tersebut dapat menciptakan ketenangan pekerja/buruh dalam bekerja dan ketenangan pengusaha dalam berusaha dan masing-masing pihak dapat memahami hak dan kewajibannya, sehingga terjamin rasa aman, tentram, terpenuhinya keadilan serta terwujudnya kehidupan yang sejahtera lahir batin, selaras dan seimbang.
Dengan demikian diharapkan gejolak ketenagakerjaan di Kabupaten Sragen dapat dieliminir sedemikian rupa sehingga pembangunan dapat berjalan dengan lancar dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Masalah utama di bidang Hubungan Industrial antara lain adalah rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja, rendahnya kesejahteraan tenaga kerja serta kurangnya perlindungan dan pengawasan tenaga kerja, serta Hubungan Industrial yang harmonis belum sepenuhnya terwujud. Sementara itu, objek pengawasan dan perlindungan ketenagakerjaan di kabupaten Sragen dapat dilihat dari jumlah perusahaan yang terdapat di kabupaten Sragen, sebagai berikut:
 Perusahaan Besar (tenaga kerja > 100 orang), sebanyak 19 buah.
 Perusahaan Menengah (tenaga kerja 25–99 orang), sebanyak 16 buah.
 Perusahaan Sedang (tenaga kerja 10–24 orang), sebanyak 61 buah.
 Perusahaan Kecil (tenaga kerja 1–9 orang), sebanyak 911 buah.

Sedangkan objek tenaga kerja yang harus dibina dan dilindungi yang tersebar di perusahan-perusahaan tersebut adalah: laki-laki sebanyak 7.821 orang dan perempuan sebanyak 7.101 orang. Di samping itu, berdasarkan pengupahan dapat dinyatakan, bahwa tingkat kesejahteraan pekerja relatif masih rendah, hal ini dapat dilihat dengan rata-rata upah yang diterima pekerja/buruh masih sebesar upah minimum, sedangkan upah minimum yang diterima pekerja masih dibawah kebutuhan hidup minimum pekerja/buruh. Sementara Kebutuhan Hidup Layak yang menjadi ukuran adalah pekerja lajang sehingga bagi pekerja yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak belum mendapatkan perhatian.
Lebih lanjut, kurangnya perlindungan tenaga kerja yang telah bekerja di perusahaan dapat dilihat dengan indikator sudah / belum dibuatnya Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di Perusahaan. Adapun jumlah perusahaan di Kabupaten Sragen yang mempunyai PP/PKB adalah sebagai berikut :
o Peraturan Perusahaan : 9 buah.
o Perjanjian Kerja Bersama : 7 buah.

Belum validnya data mengenai jumlah tenaga kerja yang telah dipekerjakan dengan sistim kontrak ataupun outsoursing juga merupakan indikator kurangnya perlindungan terhadap tenaga kerja. Kasus-kasus perselisihan, pemutusan hubungan kerja (PHK) ataupun adanya pemogokan/unjuk rasa dapat dijadikan indikasi kurang harmonisnya hubungan industrial (sebagai gambaran; data kasus yang ada selama bulan Januari – Agustus 2006 ) adalah sebagai berikut :
o Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) terjadi 1 kasus yang melibatkan 1 orang tenaga kerja.
o Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi 7 kasus yang melibatkan 37 orang tenaga kerja.
o Mogok/Unjuk Rasa terjadi 2 kasus yang melibatkan sebanyak 2.200 orang tenaga kerja.
PEMECAHAN MASALAH PENGANGGURAN

PEMECAHAN MASALAH PENGANGGURAN

POKOK-POKOK PIKIRAN, STRATEGI DAN AKSI
PEMECAHAN MASALAH PENGANGGURAN
Penciptaan dan perluasan lapangan kerja terus diupayakan, terutama melalui peningkatan dan pemerataan pembangunan industri, pertanian dan jasa yang mampu menyerap tenaga kerja yang banyak serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Upaya tersebut harus didukung oleh keterpaduan kebijakan investasi, fiskal dan moneter, pendidikan dan pelatihan, penelitian, pengembangan dan penyuluhan, penerapan teknologi serta pengembangan dan pemanfaatan pusat informasi pasar kerja dalam dan luar negeri. Kebijakan pemerataan dan peningkatan kesempatan kerja serta pelatihan tenaga kerja terus dilanjutkan dan ditingkatkan agar dapat menjangkau lapisan masyarakat luas dan terarah pada terwujudnya angkatan kerja yang terampil dan tangguh. Kesempatan kerja terbuka bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan, ketrampilan, dan keahlian serta didukung oleh kemudahan memperoleh pendidikan dan pelatihan, penguasaan teknologi, informasi pasar kerja serta tingkat upah yang sesuai dengan prestasi dan kualifikasi yang dipersyaratkan.
Tantangan besar dan berat dalam bidang ketenagakerjaan yang sedang kita hadapi saat ini adalah tingkat pengangguran yang masih besar jumlahnya. Sementara itu, lapangan kerja yang tersedia belum mencukupi. Pertambahan angkatan kerja melebihi pertambahan jumlah lapangan kerja. Apabila masalah ini tidak berhasil ditangani, maka kelak akan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Penanganan masalah ketenagakerjaan terutama kesempatan kerja dan pengangguran, hanya dapat berhasil apabila berpegang pada perencanaan tenaga kerja yang tepat. Dengan perencanaan tenaga kerja baik nasional maupun daerah yang tepat, akan dapat memperkirakan kebutuhan tenaga kerja untuk daerah tertentu, pada sektor tertentu, pada waktu tertentu untuk keahlian tertentu dan atau juga sebaliknya. Upaya pengurangan pengangguran dan setengah pengangguran ditujukan untuk merubah status penduduk dari beban pembangunan menjadi tenaga kerja produktif dan renumeratif sebagai aset bangsa yang potensial.

A. Strategi Dasar Mengurangi Pengangguran

Bercermin pada teori tentang penggangguran melalui pendekatan klasikal [Classical Approaches], disana dijelaskan bahwa penganggguran bersifat sukarela karena tidak sesuainya tingkat upah dengan aspirasi pekerja. Bertambahnya jumlah pengangguran dalam masyarakat terjadi karena mereka menunggu pada masa transisi dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Teori klasik ini juga menyebutkan bahwa untuk mengurangi pengangguran tidak diperlukan intervensi pemerintah, mengingat pengangguran yang terjadi sifatnya sukarela. Selain itu, unit-unit pelaku ekonomi percaya bahwa upah dan tingkat harga yang fleksibel dapat menyesuaikan diri secara otomatis untuk mencapai titik keseimbangan atau ekuilibrium dalam ekonomi.
Di lain pihak, ada pendapat yang menyatakan bahwa pengangguran yang terjadi di masyarakat karena kekurangan permintaan umum terhadap barang dan jasa [deficient agregate demand] dan tingkat upah yang tidak fleksibel dalam pasar kerja. Hal tersebut berarti, dalam keadaan perekonomian yang mengalami stagnasi, menyebabkan permintaan atas barang dan jasa di masyarakat akan menurun. Kondisi demikian akan mengakibatkan produksi perusahaan juga akan menurun sehingga banyak tenaga kerja yang tidak terpakai yang potensial sebagai pengangguran. Selanjutnya, dengan turunnya produksi, seharusnya diikuti turunnya tingkat upah yang diterima tenaga kerja. Oleh karena sistem upah yang tidak fleksibel [rigid] menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran. Inilah sebagai dasar dari penyebab terjadinya pengangguran karena defisiensi permintaan agregat. Pendapat yang pro dengan hal ini, menyatakan bahwa pengangguran yang terjadi karena para pelaku ekonomi hanya bertindak dalam batas-batas tertentu dan tidak mempunyai kekuatan untuk mendorong peningkatan permintaan agregat pada tingkat yang disyaratkan dalam ekuilibrium. Oleh karena itu, intervensi pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengembalikan situasi pasar pada keadaan yang seimbang. Berdasarkan teori-teori di atas, maka untuk mengatasi pengangguran perlu mengkombinasikan teori-teori tersebut, yang mana diperlukan tindakan proaktif dan antisipatif dari berbagai pihak yang terkait.
Selanjutnya, belajar dari pengertian tersebut di atas, maka strategi untuk mengurangi pengangguran harus dilaksanakan berdasarkan perencanaan tenaga kerja yang diarahkan untuk mencapai tujuan perluasan kesempatan kerja yang produktif dan renumeratif. Melalui perencanaan tenaga kerja diharapkan dapat terdeteksi kelompok masyarakat yang termasuk dalam kriteria pengangguran, mengingat perencanaan tenaga kerja melaksanakan kegiatan menghitung jumlah tenaga kerja baik dari sisi kebutuhan [demand] maupun dari sisi persediaan [supply]. Perbedaan antara kebutuhan dan persediaan tenaga kerja akan menghasilkan kelebihan atau kekurangan tenaga kerja untuk per sektor, jenis jabatan, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan dan status tenaga kerja tertentu.
Selain hal tersebut di atas, perencanaan tenaga kerja juga bertujuan untuk memanfaatkan potensi daerah untuk penyerapan tenaga kerja. Melalui perencanaan tenaga kerja, diketahui bahwa ternyata industri skala besar cenderung menggunakan teknologi modern yang hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Dengan demikian, perlu dikembangkan usaha-usaha kecil menengah yang dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Strategi lain yang dapat digunakan untuk mengurangi pengangguran adalah dengan mereformasi pelatihan kerja. Reformasi pelatihan kerja ini bertujuan untuk menyediakan tenaga kerja yang lebih terampil, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan pasar kerja serta meningkatkan produktivitas tenaga kerja agar hasil kerja atau produksi dapat bersaing dipasar global. Untuk maksud tersebut, maka pemerintah daerah akan melaksanakan upaya-upaya strategis untuk menanggulangi pengangguran, diantaranya adalah:

1. Pengembangan Informasi Pasar Kerja [labor market information]. Langkah ini dimaksudkan untuk mendukung perencanaan tenaga kerja yang tepat. Berhasil atau tidaknya suatu program yang dilaksanakan sangat tergantung dari ketersediaan informasi yang cepat dan valid. Untuk mengetahui implementasi keberhasilan program penanggulangan pengangguran baik yang di kota maupun di desa perlu disusun sistem informasi untuk memonitor keadaan pasar kerja yang tersedia.

2. Reformasi Pelatihan Kerja [training reforms]. Reformasi pelatihan bertujuan untuk menyediakan tenaga kerja yang lebih terampil, berpendidikan lebih tinggi dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan pasar kerja serta meningkatkan produktivitas tenaga kerja agar hasil kerja atau produksi dapat bersaing dipasar global. Reformasi pelatihan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan dan kualitas iklim kerja yang lebih baik [quality of working life] dari tenaga kerja yang bersangkutan. Reformasi pelatihan lebih diarahkan kepada kebutuhan pasar dan dilaksanakan secara terpadu.

3. Pengembangan dan bimbingan usaha secara mandiri. Strategi ini merupakan upaya untuk mengurangi pengangguran terdidik baik di kota maupun di pedesaan melalui pembentukan kelompok-kelompok usaha kecil dengan fasilitasi dari pemerintah. Kelompok-kelompok usaha ini perlu dibimbing dan difalilitasi baik dari segi ketrampilan berwirausaha, pendanaan, manajemen usaha, sampai dengan pemasaran dari produk atau jasa yang dihasilkan. Selanjutnya kelompok usaha mandiri yang sudah dapat berdiri sendiri dan mapan, dapat secara bergantian dan berantai memfasilitasi kelompok usaha baru lainnya, maka upaya ini akan dapat menyerap banyak tenaga kerja baru.

4. Pengembangan usaha informal keluarga. Upaya ini dapat dilakukan dengan mendorong para pencari kerja terdidik untuk melanjutkan usaha informal dilingkungan keluarganya. Dengan memberi bekal tambahan latihan ketrampilan berwirausaha, mereka akan dapat mengembangkan, memodernisasi dan menjalankan usaha informal keluarganya dengan baik. Pengembangan usaha informal keluarga diarahkan untuk dapat memanfaatkan potensi daerah setempat dan diarahkan untuk mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian mereka tidak memasuki pasar kerja, tetapi justru mereka akan dapat menciptakan dan memperluas kesempatan kerja baik bagi dirinya sendiri, keluarganya maupun orang-orang lain disekitarnya.

5. Penempatan tenaga kerja secara langsung di pasar kerja. Strategi penempatan bagi para pencari kerja atau pengangguran dilaksanakan melalui sistem informasi pasar kerja dan bursa tenaga kerja terpadu. Dengan pengembangan sistem informasi yang baik, maka setiap kebutuhan tenaga kerja di pasar kerja akan dapat terdeteksi secara cepat dan tepat. Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas SDM para pencari kerja, mereka perlu dibekali dengan pelatihan kerja atau pemagangan dengan cara on-the job training maupun off-the job training. Para pencari kerja yang telah mendapat bekal tersebut dapat dipastikan akan lebih kompetitif di dalam perebutan bursa tenaga kerja, sehingga mereka akan lebih mudah ditempatkan karena mereka telah siap memasuki dunia kerja yang sesungguhnya. Di samping itu, pengembangan sistem informasi pasar kerja yang baik memungkinkan para pencari kerja dapat meningkatkan mobilitasnya dalam rangka mengisi setiap lowongan kerja yang tersedia.

6. Penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Upaya ini juga ditujukan untuk mengurangi jumlah pengangguran yang ada, karena terbatasnya lapangan kerja di dalam negeri. Penempatan tenaga kerja ke luar negeri lebih diprioritaskan bagi tenaga kerja profesional, mempunyai kualifikasi ketrampilan dan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan tugas yang ada di luar negeri. Dengan demikian, tidak diperkenankan melakukan kegiatan penempatan tenaga kerja ke luar negeri secara membabi buta, tanpa memperhatikan kualifikasi calon tenaga kerja yang bersangkutan.

7. Pengembangan usaha agro-bisnis di pedesaan. Upaya ini juga ditujukan untuk mengurangi pengangguran yang diarahkan untuk masyarakat pedesaan. Terbatasnya lahan pertanian di pedesaan dan jenis pekerjaan sektor pertanian yang hanya bersifat musiman, merupakan kontribusi tersebar penyebab munculnya setengah pengangguran di pedesaan. Dengan demikian, diperlukan kegiatan atau usaha yang tidak dipengaruhi oleh luas lahan pertanian maupun musim. Pengembangan usaha agrobisnis ini dapat bersifat skala kecil maupun menengah. Meskipun lahan pertanian jumlahnya terbatas dan jenis pekerjaan di sektor pertanian sifatnya musiman, tetapi perluasan kesempatan kerja pada sektor ini masih sangat dibutuhkan. Namun demikian, upaya yang dilakukan hendakanya lebih mengarah pada peningkatan efisiensi dan produktivitas kerja, sehingga akan dapat meningkatkan output pertanian. Di samping itu, di pedesaan juga banyak terdapat tenaga kerja yang berpendidikan relatif rendah, maka pengembangan usaha ini dapat diarahkan bagi penyerapan tenaga kerja yang kurang terdidik tersebut. Dengan pengembangan usaha agrobisnis di pedesaan, akan muncul unit-unti ekonomi yang mampu berdiri sendiri dan menjadi kekuatan perekonomian masyarakat pedesaan sehingga mereka tidak lagi mencari pekerjaan di perkotaan.

B. Kebijakan Umum dalam Mengurangi Pengangguran

Data penganggur terbuka secara nasional pada tahun 2001 mencapai 8 juta orang, dan pada tahun 2007 jumlah ini meningkat menjadi 10,55 juta orang. Peningkatan jumlah ini cukup mengkhawatirkan. Sebagian besar jumlah penganggur ini adalah laki-laki, tinggal di perkotaan, berusia produktif, dan berpendidikan menengah ke bawah. Masalah ketenagakerjaan lainnya yang tak kalah mengkhawatirkan adalah tingkat setengah penganggur, yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per-minggu. Menurut data Sakernas, jumlah setengah penganggur pada tahun 2001 sekitar 27,7 juta orang dan pada tahun 2007 sekitar 20,7 juta orang. Angka statistik ini menunjukkan adanya penurunan tingkat setengah penganggur, tetapi bagaimanapun secara kuantitatif angka tersebut tetap besar dan memerlukan perhatian khusus dari seluruh komponen bangsa.
Ketika kita memperhatikan angka pengangguran dan setengah penganggur tersebut di atas, apa yang sebenarnya muncul dalam pemikiran kita sebagai komponen bangsa?... Kita disini semua adalah komponen bangsa yang dituntut untuk turut memikirkan masalah tersebut di atas. Tentu saja kita yakin bahwa kita semua sepakat bahwa masalah ini harus diatasi secara konsisten dan konstruktif. Oleh karena itu, apa yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang melakukan kemitraan dalam dunia usaha akan sangat berarti bagi pemecahan masalah tersebut, karena akan berdampak langsung pada perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Hal ini merupakan sumbangan langsung dari masyarakat untuk masyarakat, karena kemampuan pemerintah sangat terbatas.
Selain masalah pengangguran yang jumlahnya masih cukup besar, kita juga dihadapkan pada kondisi yang kurang menguntungkan ditinjau dari aspek penyediaan SDM yaitu rendahnya tingkat kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Latar belakang pendidikan dari mereka sebagian besar tamatan Sekolah Dasar (SD) yang mencapai sekitar 59,01%, sehingga berdampak lemahnya daya saing SDM kita jika dibandingkan dengan negara lain, baik dipasar kerja domestik maupun pasar kerja global. Meningkatnya angka pengangguran dan rendahnya kualitas SDM tersebut, menunjukan bahwa bangsa dan negara ini memiliki permasalahan ketenagakerjaan yang sangat besar dan menjadi masalah nasional, dimana penanganannya membutuhkan strategi dan program yang komprehensif, integratif dan berkesinambungan serta dilaksanakan secara konsisten, baik di tingkat Pusat maupun Daerah.
Kesungguhan dan komitment pemerintah dalam menangani permasalahan ketenagakerjaan, tercermin dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dimana dijabarkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk “menyediakan lapangan usaha bagi setiap angkatan kerja sehingga dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2”. Sehubungan dengan hal itu, PROPENAS yang menekankan bahwa Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja serta Program Pengembangan dan Perluasan Kesempatan kerja diarahkan untuk memperluas dan mengembangkan kesempatan kerja dalam upaya mengurangi pengangguran dan setengah pengangguran, serta meningkatnya penerimaan devisa dari pengiriman Tenaga Kerja Indonesia. Selain itu, diarahkan pula untuk meningkatkan kualitas pelatihan dan produktivitas tenaga kerja dalam rangka mendorong kegiatan usaha yang berkembang dimasyarakat yang pada gilirannya dapat memperluas lapangan usaha dan kesempatan kerja.
Memperhatikan arahan dalam PROPENAS tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kedua program PROPENAS saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena penciptaan dan pengembangan kesempatan kerja dalam rangka penanggulangan pengangguran harus pula didukung oleh tersedianya tenaga kerja yang terampil dengan tingkat produktivitas yang tinggi sesuai kebutuhan dunia kerja.
Untuk mengurangi pengangguran tersebut, pemerintah daerah kabupaten Sragen dengan berbagai cara dan upaya telah melakukan suatu kegiatan perluasan kesempatan kerja dan penciptaan lapangan kerja yang antara lain meliputi;

1. Penyuluhan dan Penyebaran Informasi Pasar Kerja.
Laju tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi tidak dibarengi dengan laju pertumbuhan lapangan kerja yang mengakibatkan semakin banyaknya pengangguran. Hal ini cenderung semakin sulitnya masyarakat untuk memperoleh kesempatan kerja. Di lain pihak banyak kesempatan kerja atau lowongan pekerjaan yang tak dapat terisi oleh pekerja. Hal ini bukan hanya disebabkan karena pencari kerja tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam lowongan pekerjaan, tetapi pencari kerja tidak mengetahui adanya lowongan pekerjaan. Begitu pula bagi perusahaan atau pengguna tenaga kerja mengalami kesulitan mencari tenaga kerja yang masih dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena kedua belah pihak baik sebagai pencari kerja maupun pengguna tenaga kerja tidak memperoleh informasi pasar kerja. Bagi pencari kerja tidak mengetahui dimana ada lowongan pekerjaan yang sesuai dengan dirinya dan pengguna tenaga kerja juga tidak mengetahui dimana ada pencari kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
Permasalahan tersebut sebetulnya dapat diatasi jika tersedianya informasi tentang pasar kerja yang cukup. Untuk itu fungsi dari Informasi Pasar Kerja penting sekali, yaitu untuk mempertemukan antara pencari kerja dengan pengguna tenaga kerja. Sehingga masing-masing pihak dapat memenuhi kebutuhannya sesuai yang diharapkan. Sebagai contoh, jumlah lowongan kerja dan pencari kerja yang dapat ditempatkan oleh Disnakertrans selama tahun 2007 diilustrasikan pada Grafik di bawah ini.


Grafik Ilustrasi lowongan kerja yang tersedia (atas) dan jumlah penempatan (bawah) selama tahun 2007
2. Membentuk Pelatihan Kewirausahaan dan Bantuan Modal
Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia seakan tak pernah ada habisnya. Mengingat pertumbuhan pengangguran yang terus meningkat yang tak tertampung atau tak terserap oleh lapangan kerja yang ada ditambah tingkat persaingan dunia kerja dewasa ini juga kian meningkat. Untuk itu perlu kita carikan solusi untuk mengatasi masalah pengangguran tersebut. Apalagi bekerja di perusahaan dengan posisi sebagai buruh gajinya masih di bawah Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Banyak perusahaan menerapkan dengan sistem kerja kontrak, sehingga apabila setelah masa kontrak habis dan tidak diperpanjang lagi maka dengan sendirinya akan keluar dari perusahaan sebagai penganggur. Apalagi dalam rekruitmentnya perusahaan mensyaratkan bagi pelamar harus sudah berpengalaman dibidangnya masing-masing dengan minimal waktu tertentu. Belum lagi ditambah lulusan baru yang sama sekali belum berpengalaman di dunia kerja, ini akan menambah kesulitan untuk mencari pekerjaan, sehingga menambah tingginya tingkat pengangguran. Kesempatan kerja di bidang formalpun saat ini belum dapat diharapkan sebagai sarana untuk menyerap tenaga kerja penganggur. Untuk itu kita perlu memberikan dorongan moral dan spiritual serta bekal, baik berupa modal usaha maupun ketrampilan agar bisa menjadi wirausaha yang mandiri yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Atas permasalahan tersebut maka perlu dicarikan sistem kesempatan kerja yang lebih luas lagi yang perlu di lakukan dan dikembangkan seperti dibidang kewirausahaan yang berbasis pada Teknologi Tepat Guna [TTG].
Dimana dalam Teknologi Tepat Guna ini dapat memanfaatkan potensi yang ada di daerah. Apalagi potensi daerah belum banyak dimanfaatkan secara maksimal sehingga belum memiliki nilai jual tinggi.

Mensikapi berbagai permasalahan ketenagakerjaan tersebut pemerintah menetapkan kebijaksanaan yang diarahkan dan diletakkan pada pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia, serta penciptaan lapangan kerja serta menyelenggarakan Pelatihan Terapan Teknologi Tepat Guna dan Pendampingannya. Tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah selain untuk memperluas lapangan kerja guna mengurangi pengangguran, juga agar pengangguran mempunyai bekal ketrampilan dan modal usaha untuk menumbuh-kembangkan jiwa berwirausaha yang mandiri agar menjadi wirausahawan yang kelak dalam perkembangannya bisa menjadi pencipta lapangan kerja sehingga dapat mengurangi pengangguran. Pelatihan Terapan Teknologi Tepat Guna (TTG) selain untuk mengurangi pengangguran dan membentuk wirausaha baru, juga dimaksudkan untuk dapat mengolah dan memanfaatkan sumber alam yang ada, mengembangkan dan menyebarluaskan teknologi tepat guna agar dapat lebih dimanfaatkan lagi.

3. Peluang Kerja Luar Negeri, Dalam Negeri dan Perlindungannya
Di dalam menghadapi kesempatan kerja yang terbatas didalam negeri perlu diupayakan perluasan kesempatan kerja ke luar negeri melalui program antar kerja antar negara (AKAN). Program tersebut dilaksanakan sebagai bagian untuk memberikan kesempatan TKI bekerja di luar negeri dengan persyaratan sesuai dengan permintaan pasar kerja di luar negeri. Khusus untuk penempatan kerja dengan negara tujuan Korea, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sragen bekerjasama dengan Lembaga Pelatihan dan Ketrampilan Swasta yakni LPKS Bina Taruna Sragen dan LPKS Augshin Nara guna menghadapi test bahasa Korea [KLPT]. Di dalam mengisi lowongan kerja di luar negeri tersebut, tentunya kesiapan sumber daya manusia yang berkualitas mutlak diperlukan agar dapat memenuhi tuntutan permintaan pasar kerja. Diharapkan melalui ketrampilan yang memadai, maka permasalahan yang timbul di luar negeri dapat diansisipasi sedini mungkin dan mereka dapat bekerja lebih tenang, sehingga kesejahteraan pekerja dan keluarganya dapat diharapkan secara pasti.
Dalam upaya mengatasi TKI dan TKWNI yang bermasalah di luar negeri, kita perlu berupaya untuk melihat dari berbagai sudut pandang sesuai analisa permasalahan yang sering timbul, antara lain;
a. Dari segi ketrampilan. Setiap tenaga kerja yang bekerja di luar negeri hendaknya disiapkan ketrampilannya secara memadai melalui pelatihan yang diperoleh sebelum TKWNI tersebut berangkat untuk bekerja di luar negeri, sehingga masalah mis-komunikasi dan kesalahan kerja yang mungkin timbul dapat dihindari.
b. Dari segi dokumen kerja. Dari segi dokumen perlu diteliti kebenarnya apakah telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Hal ini sangat penting, apabila terjadi permasalahan di luar negeri TKI/TKWNI tersebut apakah telah memiliki dokumen kerja yang benar, karena hal ini juga dapat terjadinya adanya pemalsuan dokumen yang berakibat kepada tidak menentunya kerja setelah tiba di luar negeri yang kemudian menjadi permasalahan.
c. Dari segi perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang dilakukan harus diketahui dan dipahami oleh TKI sebelum berangkat kerja diluar negeri, hal ini sangat penting karena perjanjian kerja sebagai kebijakan kepastian akan hak dan kewajiban di dalam melaksanakan tugas, sehingga dapat dihindari terjadinya penyimpangan kerja.
d. Dari segi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta [PPTKIS]. Setelah rekruitmen calon tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri harus didasarkan pada job order. Apakah PPTKIS tersebut mempunyai job ordesr di Negara tujuan?. Hal ini sering terjadi job orders tidak ada atau dipalsukan, sehingga menimbulkan permasalahan bagi TKI yang telah ditempatkan.
Dari apa yang telah dikemukakan tersebut, maka pemerintah di dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja yang akan bekerja di luar negeri telah mengeluarkan Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2006 tentang Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada TKI sejak pra pemberangkatan, selama penempatan dan pulang kembali ke tanah air. Apabila terjadi permasalahan TKI di luar negeri, maka langkah yang dilakukan adalah: melakukan upaya diplomatik dengan negara di mana TKI tersebut ditempatkan melalui KBRI setempat untuk dicarikan solusi penyelesaian. Memanggil PPTKIS pengirim untuk menyelesaikan, sesuai dengan perjanjian kerja yang dibuat. Dalam hal TKI menghadapi ancaman sanksi hukuman dari pengadilan luar negeri, maka pemerintah mengirimkan lawyer untuk membantu pembelaan di dalam upaya membebaskan TKI yang bermasalahan di luar negeri.
Bagi negara yang memulangkan TKI secara basar-besaran seperti Malaysia, maka Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sragen berupaya mencarikan solusi yang sebaik-baiknya. Alternatifnya apabila menempatkan kembali ke Malaysia yang bersangkutan harus memiliki calling visa dan perjanjian kerja serta melalui prosedur yang benar. Alternatif lain apabila tidak dipenuhi persyaratan tersebut, maka program yang dilakukan melalui penyiapan lapangan kerja serta pemberdayaan tenaga kerja di dalam negeri, antara lain seperti di Pulau Batam dan dengan sejauh mungkin memanfaatkan perkebunan kelapan sawit yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
Sejak tahun 2007 kita telah mengembangkan kegiatan bimbingan dan pelatihan kewirausahaan bagi TKI Purna. Selama kegiatan bimbingan dan pelatihan juga diperoleh catatan bahwa sebagian TKI purna beserta keluarganya mempunyai sifat yang elastis. Dengan bertambahnya pendapatan keluarga dari hasil kerja TKI, maka bertambah pula pengeluaran TKI dan keluarganya untuk belanja keperluan konsumtif, seperti membangun rumah beserta perabotan rumahtangganya dan barang-barang elektronik. Oleh karena itu menurut kami perlu adanya pihak-pihak yang dapat memberikan arahan dan pendapingan bagi keluarga TKI purna, agar mereka dapat memanfaatkan hasil kerja TKI secara selektif dan mempunyai nilai yang produktif. Tanpa adanya arahan dari pihak lain kami mengkhawatirkan mereka akan sia-sia bekerja di luar negeri dan tidak merasakan hasil yang maksimal.

4. Padat Karya Produktif
Salah satu kegiatan pengurangan pengangguran adalah Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja yang telah merealisasikan kegiatan padat karya produktif. Kegiatan padat karya produktif tersebut merupakan program yang diarahkan selain untuk mengurangi pengangguran juga memberikan kesempatan kerja dan mendorong semangat jiwa kemandirian bagi masyarakat dengan cara berusaha madiri/ berwirausaha.
Wujud padat karya produktif tersebut akan kita tentukan setelah dilakukan kegiatan identifikasi terlebih dahulu, yaitu untuk menentukan/menetapkan kegiatan atau proyek apa yang tepat untuk dilaksanakan agar proyek tersebut bermanfaat, menguntungkan dan tepat pada sasaran dan bersifat produktif. Sehingga masyarakat dapat menikmati dari hasil kegiatan tersebut. Karena kegiatan ini besifat padat karya maka kegiatan tersebut harus berkelanjutan mempunyai dampak ekonomi yang berkelanjutan, banyak menyerap tenaga kerja dengan imbalan pekerja tersebut akan menerima upah. Kegiatan tersebut juga harus mempunyai dampak bagi pemberdayaan tenaga kerja dan ekonomi masyarakat.

Didalam kegiatan padat karya produktif tersebut (seperti pembuatan kandang ayam, kandang kambing beserta pengolahan lahan rumputnya dan pembuatan kolam ikan). Setelah kegiatan proyek
tersebut selesai, ternyata sangat menguntungkan sekali bagi masyarakat, karena selain telah memberikan lapangan kerja bagi masyarakat juga telah tersedianya jenis kegiatan usaha baru bagi masyarakat.
Dengan adanya kegiatan ini masyarakat dapat berperan aktif, baik sebagai pengelola maupun pengguna. Sehingga baik secara langsung maupun tak langsung dapat meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan bagi masyarakat sekelilingnya. Sebagai contoh, hal tersebut diimplemntasikan dengan dibuatnya MOU antara pengelola padat karya, masyarakat yang diwakili kepala desa dan Pemerintah yang diwakili Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sragen. Dalam MOU tersebut intinya adalah pembagian hasil bersih dari hasil pengelolaan kegiatan padat karya tersebut dengan pembagian hasil sebagai berikut; Pengelola [50 %], Masyarakat [30 %] dan Disnakertrans [20 %].

Dari hal tersebut maka dampak dari adanya kegiatan padat karya produktif tersebut adalah selain memberikan lapangan usaha baru yakni dengan mengelola hasil kegiatan tersebut, juga akan mendapatkan pendapatan baru bagi masyarakat sehingga diharapkan dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

C. Strategi Menghadapi Perubahan Dunia Kerja

Pada saat ini telah terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam dunia kerja. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya perubahan struktur kesempatan kerja yaitu perubahan jenis pekerjaan yang memerlukan otot [blue collars] menjadi jenis pekerjaan yang menuntut kemampuan otak [white collars]. Jenis pekerjaan sekarang ini dan yang akan datang dengan pemanfaatan teknologi tinggi jelas memerlukan pengetahuan dan ketrampilan khusus serta tingkat kesulitan yang semakin kompleks.
Perubahan dunia kerja tersebut, terjadi sebagai akibat adanya globalisasi peradaban, perekonomian dan teknologi informasi dunia yang tidak menghendaki lagi adanya batas-batas spesiliasi pekerjaan. Dengan demikian, ketrampilan dan pengetahuan yang dikembangkan bagi para calon tenaga kerja harus mendukung ke arah perubahan dunia kerja tersebut. Di samping itu, para calon tenaga kerja juga perlu dibekali dengan kemampuan untuk merubah sikap, perilaku dan ketrampilannya secara cepat melalui pelatihan khusus sesuai persyaratan kebutuhan pasar kerja. Dalam hal ini, pengembangan kualifikasi pelatihan dapat dilakukan melalui proses learning by doing untuk meningkatkan self confidance dan kepercayaan untuk berani bersaing.
Perubahan dunia kerja juga terjadi dalam sistem kerja, dimana partisipasi individu tenaga kerja yang bersangkutan tidak lagi bersifat superior, tetapi sekarang lebih mengarah pada kerjasama tim kerja sebagai satu kesatuan dalam proses produksi. Dapat dipastikan bahwa saat ini telah terjadi perubahan nyata di dunia kerja, maka penyediaan SDM melalui pelatihan yang bersifat multi-skill, flexible dan retrainable menuju pengembangan kemampuan SDM dengan kemampuan enterpreneurship dan life-long education. Hal-hal tersebut di atas merupakan prinsip dasar pengembangan pelatihan tenaga kerja yang berbasis kompetensi, sehingga output pelatihan akan lebih kompetitif sesuai dengan job demands yang tersedia.

D. Implementasi Program Aksi Pengurangan Pengangguran

Upaya pengurangan pengangguran di Kabupaten Sragen telah dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif, semua pihak diupayakan untuk dapat berperan aktif. Seiring dengan program pengentasan kemiskinan yang selama ini telah dilakukan, kerja keras Kepala Daerah diikuti semua Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah kata kunci yang tak dapat ditawar lagi. Berikut adalah langkah-langkah strategi Pemkab Sragen dalam menciptakan dan memperluas kesempatan kerja guna menanggulangi pengangguran, yang secara garis besar tertuang dalam berbagai program kerja sebagai berikut:

1. Program Aksi Satuan Kerja Pemkab Sragen
Sebagai gambaran sekilas, bahwa Program Aksi masing-masing Satker yang didukung baik melalui APBD Pemkab Sragen maupun secara mandiri dan terpadu selama tahun 2006 telah mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar yaitu 41.058 orang dengan rincian; Disnakertrans: 11.994 orang dan Satker terkait: 29.064 orang.
Berikut uraian kegiatan dan jumlah Penyerapan Tenaga Kerja dari masing-masing Satker Pemkab Sragen yang telah dilakukan:
a. Sektor Tenaga Kerja Produktif. Dilaksanakan kegiatan Padat Karya Produktif berupa pembuatan 2 (dua) buah kolam renang baru dan 4 (empat) buah kolam renovasi di Kecamatan Kedawung. Dari kegiatan ini terdapat penyerapan tenaga kerja sebanyak 6.525 HOK. Selanjutnya dilakukan pengembangan kegiatan berupa pemancingan ikan; fasilitasi usaha rumah makan, tempat pelatihan budi daya ikan; sarana out bond serta tempat rekreasi bermain anak. Dengan demikian akan dapat menyerap banyak tenaga kerja baru yang sangat produktif.

b. Sektor Indagkop. Membangun Zona Industri Meubelair di Kalijambe; Membangun Kerjasama Pembuatan Pabrik Rokok Sigaret Kretek (SKT) dengan HM. Sampurna; Pemberian Pinjaman Modal Usaha secara Recovery Fund bagi Usaha Kecil Menengah (UKM). Dari kegiatan ini dapat menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 10.000 orang.

c. Sektor Perikanan dan Peternakan. Dari sektor ini dilakukan kegiatan berupa pinjaman modal lunak kepada usaha ikan bakar; Pinjaman modal berupa Recovery Found kepada petani Ikan; Bantuan penggemukan sapi potong; usaha karamba apung; menyediakan bibit sapi brangus serta Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) ternak unggul. dari pengembangan kegiatan ini tidak kurang dari 12.000 orang mendapatkan lapangan pekerjaan.

d. Sektor Pemberdayaan Masyarakat. Melalui pemberian bantuan modal pinjaman lunak bagi keluarga miskin produktif serta dilakukan Penanganan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dapat menyerap dan membuka lapangan kerja baru lebih dari 3.000 orang.

e. Sektor Perkebunan dan Kehutanan. diberikan bantuan modal lunak bagi Petani Tembakau dan dilakukan pengembangan tanaman tebu/ kredit KKP seluas 925 Ha untuk membantu penyediaan modal kerja 1.600 orang dari 86 kelompok petani tebu.

f. Sektor Pariwisata dan Investasi. memberikan tambahan modal usaha bagi 30 kelompok usaha (rumah makan, toko souvenir, dan angkutan), di sekitar lokasi wisata dan desa wisata.

g. Sektor Kesejahteraan Sosial. Dilakukan kegiatan pembinaan dan bantuan UEP Paguyuban PSM untuk meningkatkan ketrampilan dan membuka lapangan kerja.

h. Sektor Peranan Wanita dan Remaja. memberikan pinjaman modal bergulir bagi 59 kelompok usaha kecil untuk membuka lapangan usaha dan kesempatan kerja.

2. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Kebijakan ini diambil untuk menciptakan business confidence di Kabupaten Sragen. Ini dilaksanakan salah satunya dengan mempermudah dan mempersingkat ijin usaha. Untuk tujuan tersebut dibentuk Kantor Pelayanan Perijinan dan Non Perijinan di One Stop Service (OSS), untuk memberikan pelayanan prima kepada pelanggan dan masyarakat.

3. Pembentukan Lembaga Keuangan Lokal.
Kebijakan ini bertujuan untuk memberi akses pada masyarakat miskin dan mereka yang mengalami hambatan dalam mengakses modal dari bank komersial. Di Kabupaten Sragen, ini diwujudkan dengan dibentuknya Lembaga Keuangan Desa, Lembaga Keuangan Dasar, dan lain-lain.
a. Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) untuk pembelian gabah langsung dari petani dengan harga standar pemerintah.
b. Pinjaman modal kepada LKD melalui PD. BPR-BKK untuk pinjaman modal bagi KK Miskin produktif.
c. Program recovery fund untuk memperkuat permodalan bagi 1.225 pengusaha mikro, guna meningkatkan usahanya dan penyerapan tenaga kerja dari KK Miskin produktif serta pengembangan usaha mikro bagi KK miskin potensial.

4. Kerjasama Mutual.
a. Telah dilaksanakan kerjasama penempatan tenaga kerja program Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) dengan Pulau Batam, Bintan Jabotabek. Dari kerjasama antar daerah ini pada tahun 2006 telah ditempatkan tenaga kerja program AKAD sebanyak 3.283 orang dan penempatan tenaga kerja program Antar Kerja Lokal (AKL) sebanyak 6.211 orang.
b. Pada tanggal 16 Agustus 2004 telah ditandatangani kerjasama antara Diirektorat Jenderal Binapendagri Depnakertrans dengan Bupati Sragen tentang Pelaksanaan Pembangunan Masyarakat Terpadu melalui Pendayagunaan Tenaga Kerja Sukarela (TKS). Dari kerjasama ini telah dilakukan Pelatihan dan Pembinaan kepada 40 orang TKS. Pada tahun 2004, setiap TKS membentuk 10 Kelompok Usaha Baru (KUB). Sehingga terbentuk 400 KUB. Selanjutnya pada tahun 2005, jumlah KUB berkembang menjadi 648 KUB. Setiap KUB rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 10 orang. Sehingga jumlah tenaga keerja yang dapat diserap dari kerjasama ini adalah 6.480 orang. Disamping itu TKS tersebut pada tahun 2005 membentuk Koperasi “TKS SUKOWATI“ dengan modal usaha dari Depnakertrans ditambah keuntungan dari Recovery Fund APBD Kabupaten Sragen.

5. Pemberdayaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kerja
Pemkab Sragen melalui Badan Diklat dan Litbang (BDL) Kabupaten Sragen berupaya melakukan pemberdayaan calon tenaga kerja dengan mengadakan berbagai pelatihan ketrampilan bagi masyarakat. Di Kabupaten Sragen terdapat 20 buah Lembaga Pelatihan Kerja Swasta (LPKS) binaan Disnakertrans. Setiap tahun LPKS tersebut berhasil mendidik dan melatih lebih dari 2.000 orang dengan berbagai macam kejuruan/keahlian, dan juga dapat ditempatkan sesuai bidang kejuruan (Three in One).
6. Suplier Tenaga Kerja Indonesia.
Sragen merupakan daerah yang sangat potensial dan dinamis bagi Calon TKI. Terbukti pada tahun 2007 ini tercatat sebanyak 20 Cabang Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), 27 Rekruiter dan 8 buah Lembaga Pelayanan Penempatan Swasta (LPPS). Negara yang menjadi tujuan penempatan antara lain Arab Saudi; Malaysia; Singapura; Taiwan; Hongkong; Korea selatan; Magang Jepang dll. Pada tahun 2006 telah dapat ditempatkan TKI dari Sragen sebanyak 1.900 orang.


Dan pada Tahun 2007 berhasil ditempatkan TKI ke luar negeri sebanyak 1.945 orang. Di samping itu, TKI purna banyak berhasil dan sebagian besar berusahan secara mandiri dan bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Dari penempatan Tki ke luar negeri tersebut, Kabupaten Sragen setiap tahun mendapatkan remitance lebih dari 50 milyar rupiah.

7. Perlindungan Tenaga Kerja
Untuk menciptakan dunia usaha yang kondusif maka perlindungan bagi tenaga kerja merupakan prioritas. Pemkab Sragen melalui Disnakertrans secara terus menerus melaksanakan program pelaksanaan perlindungan tenaga kerja secara komprehensif dan partisipatoris yang meliputi kegiatan:
a. Sosialisasi peraturan perundang undangan ketenagakerjaan dari tahun 2001 sampai tahun 2007 telah dilaksanakan sosialisasi ke perusahaan-perusahaan lebih dari 200 perusahaan.
b. Penyelesaian kasus ketenagakerjaan. Dari setiap kasus yang muncul di perusahaan telah dapat diselesaikan dengan baik. Pada tahun 2006 terdapat 3 kasus PHI, 14 PHK dan 2 kasus mogok kerja, yang kesemuanya telah dapat diselesaikan.
c. Pembinaan Zero Accident. Kegiatan ini telah dilaksanakan secara terus menerus untuk memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, sehingga tenaga kerja dapat bekerja secara aman, nyaman, sehat dan produktif.
d. Pembinaan terhadap lembaga ketenagakerjaan seperti LKS Tripartit, Dewan pengupahan, Organisasi Pengusaha, Organisasi Pekerja dan Buruh berjalan sesuai undang-undang ketenagakerjaan.
8. Bursa Kerja dan Informasi Pasar Kerja
Pemkab Sragen telah membentuk Bursa Kerja dan Pusat Informasi Pasar Kerja baik secara on line, off line maupun konvensional dengan kegiatan antara lain:
a. Pengolahan data lowongan kerja siap saji kepada pencari kerja.
b. Mempertemukan para pencari kerja dengan pengguna jasa.
c. Menyediakan informasi lowongan kerja melalui portal web site yang dapat diakses secara gratis oleh para pencari kerja.
d. Meng-upload data pencari kerja melalui mailing list on line, sehingga dapat memudahkan para pengguna tenaga kerja untuk memilih calon tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi.
e. Layanan konsultasi dan tes bakat.
f. Penyusunan database pencari kerja dan lowongan kerja.

Dengan diselenggarakannya Bursa Kerja dan Informasi Pasar Kerja secara on line system, maka akan dapat menghasilkan:
a. Peningkatan penempatan tenaga kerja dalam maupun luar negeri.
b. Peningkatan kualitas data Informasi Pasar Kerja (data pencari kerja dan data lowongan kerja lengkap dengan analisanya).
c. Peningkatan motivasi bekerja para pencari kerja, dengan kemudahan informasi lowongan kerja dan layanan konsultasi kerja

Dengan berbagai strategi dan upaya seperti diuraikan di atas, ternyata langkah-langkah konkrit dan terpadu, lintas instansi dan lintas sektoral dapat menurunkan angka pengangguran dari tahun ke tahun, khususnya di Kabupaten Sragen, di tengah trend nasional meningkatnya angka pengangguran.