PENGELOLAAN LIMBAH B3

PENGELOLAAN LIMBAH B3

PENGELOLAAN LIMBAH B3

“…… setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia.”


Latar Belakang

B3: Bahan Berbahaya dan Beracun, >75% B3 merupakan sumbangan dari sektor industri melalui limbahnya,Sisanya berasal dari sektor lain termasuk rumah tangga yang menyumbang 5-10% dari total limbah B3 yang ada.
Peningkatan jumlah limbah B3 di Indonesia antara kurun waktu 1990 – 1998 mencapai 100%.
Tahun 1990 sekitar 4.322.862 ton dan pada tahun 1998 mencapai 8.722.696 ton. Dan terus akan naik.


B3 dan Permasalahannya

Lintas batas limbah B3 dari LN
Ekspor limbah dari negara-negara maju sulit dibendung
Banyak terjadi kasus ilegal dumping dari kapal LN yang mengangkut limbah B3 secara tersembunyi dan membuangnya ke perairan Indonesia
Lintas batas pembuangan limbah B3 ini sering terselubung dalam bentuk bahan baku seperti plastik bekas
Thn 1992: Sebanyak 116 peti kemas limbah B3 seberat 1200 ton yang berasal dari pelabuhan Singapura ditemukan di pelabuhan Tanjung Periuk.
Dari 1 Februari sampai 31 Maret 1992 telah dikapalkan sampah plastik dari USA sebanyak 52.227.368 puond dalam 749 pengapalan ke berbagai tujuan di Asia (dari Multinational Monitor -Juni, 1992).

Sejak diberlakukannya pelarangan impor limbah B3, sampai Mei 1994 terdapat 260 kontainer dari berbagai negara yang 95 diantaranya ternyata berkategori B3, yaitu 65 kontainer dari Belanda, 21 dari Singapura, 5 dari Jerman, 1 dari Jepang, 1 dari Korea Selatan dan 2 kontainer lagi tidak jelas asalnya.

Dari hasil proyeksi jumlah limbah B3 yang dilakukan oleh BAPEDAL, sampai tahun 2020 akan terdapat 60 juta ton total limbah B3 yang bermukim di Indonesia dan menunggu sewaktu-waktu untuk menjadi sebuah tragedi yg mengerikan.

Upaya Pengelolaan Limbah B3

Pertama, adalah penerapan “produksi bersih dan minimisasi limbah” bagi industri.
Teknologi end pipe treatment merupakan teknologi kuno (sunset technology) yang telah lama ditinggalkan.

Mengganti teknologi dari end pipe treatment menjadi clean technology,

Konsep clean technology melalui minimisasi limbah industri dengan model reduce; recycle; reused; recovery dan recuperation, dapat mengurangi cost production, meskipun pada awalnya dibutuhkan investasi yang cukup besar.


Kedua, adalah pembenahan sistem hukum dan peraturan yang telah ada.
Peraturan yang ada seperti AMDAL masih jauh dari mencukupi untuk melakukan pengelolaan limbah, khususnya limbah B3.
Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Basel melalui Kepres RI no. 61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal.
Lemahnya supremasi hukum di Indonesia inilah yang menjadikan seringnya kecolongan baik industri lokal maupun dari luar negeri.

Ketiga adalah sesegera mungkin membereskan kelembagaan lingkungan hidup di Indonesia yang memang mempunyai posisi yang lemah. Kedudukan Bapedal misalnya, yang hanya berfungsi secara koordinatif, sehingga seringkali ketika muncul persoalan dalam hal pencemaran lingkungan hidup, hanya fungsi administratif saja yang dijalankan oleh Bapedal,

Keempat yaitu melakukan evaluasi, inventarisasi dan pengembangan terhadap sumber daya yang kita miliki.

Kelima adalah adanya transparansi informasi kepada masyarakat luas, sehingga ada partisipasi aktif dari masyarakat untuk ikut serta dalam usaha pelestarian lingkungan hidup. Salah satunya adalah sosialisasi informasi mengenai limbah B3. Dengan begitu ada keterlibatan seluruh stakeholders secara seimbang dan aktif untuk memecahkan setiap persoalan lingkungan hidup.