TRANSMIGRASI DAN PENGANGGURAN

TRANSMIGRASI DAN PENGANGGURAN

TRANSMIGRASI, PERSOALAN DAN SOLUSI MENGATASI PENGANGGURAN
Banyak diantara kita, aparatur penyelenggara dan pelaksana bertanya tentang eksistensi dan kelanjutan program transmigrasi. Hal itu sangat dipahami, karena perubahan demi perubahan bergerak sangat cepat dan jauh lebih cepat daripada antisipasinya. Perubahan itu disebabkan oleh banyak faktor. Disatu sisi disebabkan oleh berkembangnya kondisi lingkungan strategis yang tidak secara langsung terkait dengan pepindahan transmigrasi, dan di lain pihak adanya upaya reorientasi kebijakan dan strategi serta reposisi terhadap peran birokrasi dalam pelayanan perpindahan transmigrasi. Hiruk pikuk penafsiran terhadap Otonomi Daerah tampaknya juga memberikan andil cukup besar terhadap beragamnya persepsi aparatur penyelenggara dan pelaksana. Tentu saja hal demikian tidak bisa dibiarkan, karena masyarakatlah yang akhirnya akan menjadi korban.A. Latar Belakang
Dalam masa transisi ini, program perpindahan transmigrasi dihadapkan tehadap persoalan yang dilematis. Di satu sisi masih dirasakan sebagai kebutuhan dan sisi lain ditanggapi secara skeptis. Dirasakan sebagai kebutuhan, karena beberapa daerah beranggapan bahwa perpindahan transmigrasi merupakan jalan pintas untuk memicu dan memacu pertumbuhan daerah, namun hal tersebut sering ditanggapi secara skeptis karena kurang adanya keterkaitan secara fungsional antara perpindahan transmigrasi dengan kepentingannya.
Terlepas dari silang persepsi terhadap program perpindahan transmigrasi, realitas menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih membutuhkan untuk (minimal) dua hal pokok, yaitu:
• Pertama, bagi daerah–daerah yang menyadari bahwa potensi sumber daya yang dimiliki tidak akan bermakna tanpa didukung sumber daya manusia yang memadai. Bagi daerah – daerah seperti ini tentu tetap berharap agar program perpindahan transmigasi dilanjutkan.
• Kedua, bagi daerah–daerah yang menyakini bahwa kemampuan yang dimiliki masyarakatnya hanya sebatas mengolah lahan secara tradisional. Bagi daerah-daerah seperti ini, transmigrasi dianggap cara yang tepat untuk memperoleh sumber pendapatan tetap melalui penyediaan lahan sesuai dengan kompetensinya.

Dari kedua hal pokok tersebut, persoalanya adalah, bagaimana caranya merancang program perpindahan transmigrasi yang paling murah dan bermanfaat bagi masyarakat. Bermanfaat bagi masyarakat?... Tampaknya pertanyaan sederhana itu adalah persoalan yang besar yang perlu kesepahaman dan kesepakatan, karena program perpindahan transmigrasi yang akan ditawarkan kepada masyarakat adalah program bersama dari minimal melibatkan dua pemerintah daerah.
Program transmigrasi ditunjukan untuk dua hal, yaitu; pertama, untuk memberikan peluang berusaha dan kesempatan bekerja kepada anak bangsa ini secara terintegrasi dengan upaya pemberdayaan potensi sumberdaya kawasan yang belum kita manfaatkan. Kedua yang berjangka panjang, adalah untuk menciptakan kondisi yang medorong terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa sebagai pilar utama berdiri tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari tujuan filosofis itu jelas. Kita baru saja kehilangan Ligitan dan Sidapan, karena kedua pulau itu terbengkalai tak terjamah, sehingga pihak lain meng-klaim sebagai tak bertuan. Demikian pula di daerah perbatasan yang pada umumnya kondisinya jauh tertinggal jika dibandingkan dengan kondisi sebelahnya yang merupakan wilayah negara tetangga. Oleh karena itu salah satu sasaran program transmigrasi adalah pemberdayaan potensi sumber daya milik bangsa yang terbengkalai itu, agar tidak lagi diincar oleh orang lain, tetapi justru didayagunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan bangsa.
Sejak awal, program transmigrasi dirancang oleh pemerintah dengan sejumlah alasan yang masuk akal. Meski program ini diadopsi oleh para fuonding fathers dari pemerintah kolonial Belanda yang bernama kolonisasi, namun ternyata membuahkan kesamaan visi bahwa Indonesia memang memerlukan program perpindahaan penduduk ini. Adanya disparitas yang begitu tajam antara kuantitas dan kualitas penduduk yang tinggal di pulau Jawa, pada awalnya menjadi alasan utama mengapa trasmigrasi diselenggarakan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, transmigrasi juga berkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan transmigran dan penduduk setempat, pertumbuhan ekonomi suatu kawasan sekaligus memacu perkembangan daerah.
Konsentrasi penduduk pada satu wilayah juga akan menyulitkan pemerintah dalam melaksakan pembangunan. Di satu sisi pembangunan akan terpusat di pulau Jawa, sedangkan di tempat lain akan semakin tertinggal. Begitu pula dengan kegiatan investasi, umumnya para investor akan melirik pulau Jawa karena berbagai infrastruktur telah tersedia. Selain itu karena jumlah penduduknya pula, pulau Jawa menjadi surga para investor untuk menjual produknya. Dengan demikian modal yang telah diinvestasikan akan cepat kembali (Break Event Point) dan memberikan keuntungan. Oleh sebab itu, melalui program trasmigrasi kita pecahkan masalah kependudukan kita terutama dari aspek kualitas dan penyebaranya untuk meratakan pembangunan. Karena dengan alasan keterbatasan jumlah penduduk pula menyebabkan biaya pembangunan menjadi begitu mahal dan tidak ekonomis

B. Kritik, Sindiran, Permasalahan dan Solusi Transmigrasi

Sampai saat ini masih banyak sindiran, kritikan dan pernyataan negatif seputar penyelenggaraan transmigrasi. Namun di sisi lain ternyata juga masih banyak masyarakat yang memerlukan dan menginginkan bahwa progam transmigrasi harus tetap berlanjut. Terhadap pihak-pihak yang mempertanyakan keberadaan transmigrasi dan yang menyatakan agar transmigrasi dihentikan, pada dasarnya merupakan kritik yang perlu disikapi secara arif dan positif.
Adanya pertanyaan dan pernyataan miring itu justru akan mendorong kita untuk instropeksi dan segera mencari akar persoalan sebagai penyebab permasalahan.

Berdasarkan data dan pengamatan di lapangan, paling tidak terdapat 5 [lima] penyebab masalah transmigrasi yang perlu mendapatkan perhatian secara serius. Permasalah-permasalahan tersebut adalah:
1. Banyaknya klaim masyarakat terhadap lahan permukiman transmigrasi. Menghadapi masalah ini, maka dalam membangun Permukiman Transmigrasi Baru (PTB), lokasi-lokasi yang diusulkan menjadi permukiman transmigrasi hanya lokasi atau kawasan yang benar-benar clean and clear. Artinya bahwa sudah tidak ada persoalan dengan aspek pertanahan. Selain itu, masyarakat setempat harus benar-benar memahami dan menyadari bahwa pembangunan permukiman transmigrasi di daerahnya dilaksanakan dalam kerangka memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Selanjutnya. Sebelum suatu kawasan atau lokasi diusulkan, perlu dikomunikasikan terlebih dulu dengan masyarakat setempat, karena pada hakekatnya masyarakatlah yang akan merasakan manfaatnya. Dengan demikian, keberadaan suatu lokasi atau kawasan permukiman transmigrasi bukan lagi atas keinginan pemerintah atau elit, tetapi karena kebutuhan masyarakat.

2. Adanya lokasi permukiman transmigrasi yang kurang berkembang, yang mengakibatkan transmigran meninggalkan lokasi atau bahkan mengajukan tuntutan. Masalah inilah yang mengembangkan pandangan negatif terhadap program transmigrasi. Untuk menghadapi hal tersebut, kita tidak perlu berpolemik tentang siapa yang salah, tetapi yang terpenting adalah agar persoalan Permukiaman Transmigrasi yang sudah Ada [PTA] perlu prioritas dalam penanganan. Untuk menghindari kemungkinan timbulnya permasalahan serupa dikemudian hari, maka dalam menetapkan permukiman transmigrasi yang dikembangkan melalui kerjasama kemitraan agar memiliki prospek usaha yang jelas dan memberikan keuntungan bagi transmigran maupun investor secara berkelanjutan.

3. Adanya permukinan transmigrasi yang dirasakan menjadi beban pemerintah daerah setempat, karena perkembangannya justru menjadi desa tertinggal. Dalam hal ini, kita perlu mencermati dan memahami secara jelas persoalan yang ada di desa-desa eks unit Permikinan Transmigrasi [UPT], sehingga ditemukan solusi yang tepat dan bermanfaat.
4. Adanya transmigran yang kembali ke daerah asal tentunya dengan berbagai alasan dengan menyebarkan berita negatif. Walaupun potensinya relatif kecil dibanding jumlah transmigran yang di tempatkan, namum kepulangan transmigran ke daerah asal ternyata menjadi persoalan berat bagi pemerintah daerah. Berdasarkan informasi di lapangan, banyak transmigran yang kembali karena diintimidasi penduduk setempat dan setelah mereka kembali dan setelah mereka pulang ke daerah asal, rumah yang ditinggalkan langsung dihuni oleh penduduk setempat. Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya tidak membangun Permukiman Transmigrasi Baru [PTB] jika masyarakat setempat tidak membutuhkan kehadiran transmigran.

5. Adanya permukiman yang dibangun secara ekslusif yang mengakibatkan kecemburuan dari masyarakat di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena kurang adanya keterkaitan dengan lingkungan sekitar serta adanya perlakuan yang dianggap lebih baik kepada transmigran pendatang. Untuk menghindari persoalan ini, maka ditetapkan kebijkan pemerintah dalam bidang transmigrasi yaitu: (1) permukiman transmigrasi dibangun dalam skala besar dimana masyarakat sekitar permukiman termasuk ke dalam pembinaan dan pemberdayaan; (2) pelaksanaan transmigrasi dilaksanakan melalui mekanisme kerjasama antar daerah; dan (3) komposisi penempatan 50% penduduk daerah setempat dan 50% penduduk dari transmigran pendatang. Dengan kebijakan seperti tersebut diharapkan terjadi keadilan dan proporsional antara penduduk setempat dan transmigran pendatang.

C. Tiga Kegiatan Utama Transmigrasi

Berdasarkan Undang–Undang No. 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, dan Peraturan Pemerintah No. 02 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan transmigan dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunaan daerah, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Sesuai dengan tujuan tersebut maka transmigrasi masih sangat relevan di era Otonomi Daerah saat ini, meskipun dalam pelaksanaanya diperlukan adanya penyesuaian agar sejalan dengan Undang–Undang No.22 tahun 1999 dan Undang–Undang No. 25 tahun 1999. Selanjutnya, pemerintah menetapkan dan merumuskan kegiatan transmigrasi yang dijalankan, haruslah meliputi 3 [tiga kegiatan] utama yaitu:
a. Perpindahan transmigrasi;
b. Pemanfaatan ruang;
c. Pemberdayaan masyarakat

Dengan demikian maka harus ada daerah atau wilayah asal transmigran dan daerah atau wilayah penempatan trasmigran, baik dalam satu kabupaten yang sama, provinsi yang sama maupun antar provinsi. Situasi ini yang menuntut perubahan pendekatan pembangunan transmigrasi ke arah desentralistik dan aspiratif, yang diikuti tuntutan perubahan peran pemerintah daerah, LSM dan masyarakat harus semakin nyata dalam pembangunan transmigrasi. Sejalan dengan hal tersebut, maka langkah–langkah yang diperlukan adalah adanya kewengan disertai pelimpahan anggaran yang besar kepada pemerintah daerah.

D. Transmigrasi Merupakan Solusi Mengatasi Pengangguran

Mengawali Tahun 2000, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, telah terjadi perubahan mendasar dalam sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perubahan itu sebenarnya adalah suatu keniscayaan, karena dalam hidup ini hanya ada satu yang pasti yaitu perubahan. Karena itu ada pepatah mengatakan siapa yang tidak mau melakukan perubahan niscaya ia akan diubah oleh perubahan jaman itu sendiri.
Dalam proses penyelenggaraan transmigrasi yang merupakan fenomena kependudukan yang unik di negeri ini, perubahan yang terjadi sejak awal tahun 2000 juga banyak berpengaruh dan bahkan terjadi berbagai goncangan. Jika pada era sebelumnya program transmigrasi diterima secara utuh oleh seluruh komponen bangsa ini sebagai program nasional dengan tujuan filosofis yang sangat mulia. Dengan berbagai kekurangannya, realitas menunjukkan bahwa program-program transmigrasi selama ini telah memberikan konstribusi yang cukup berarti bagi pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan bangsa. Dibalik konstribusi transmigrasi yang cukup besar bagi pembangunan bangsa ini, masih ada berbagai kelemahan dan kekurangan yang perlu pembanahan. Kelemahan yang perlu dibenahi antara lain adalah :
1. Sistem pembangunan lokasi pemukiman transmigrasi yang eksklusif dan standar.
2. Pelaksanaan perpindahan yang berorientasi kepada supply aproach.
3. Sistem perencanaan dan pengolahan pembangunan transmigrasi yang sentralistik yang dirasakan kurang memperhatikan potensi daerah serta aspirasi masyarakat setempat.

Sistem pelaksanaan seperti inilah yang menimbulkan masalah ketidakharmonisan hubungan antara transmigran pendatang dengan penduduk setempat di beberapa daerah, karena pertumbuhan lokasi-lokasi transmigrasi yang eksklusif cenderung lebih cepat dibanding dengan desa-desa lama. Tanpa bermaksud untuk mempertahankan diri dengan menyadari kekurangan dan kelebihannnya bahwa transmigrasi saat ini dan kedepan tetap merupakan program andalan yang akan mampu menjawab tantangan bangsa Indonesia. Ada beberapa tantangan yang saat ini menjadi persoalan, yang dapat kita jawab dengan program transmigrasi, yaitu:
1. Kebutuhan pemulihan ekonomi yang terpuruk akibat krisis yang berkepanjangan. Menghadapi kebutuhan pemulihan ekonomi maka persoalan kemiskinan, pengangguran dan ketahanan pangan yang merupakan akar persoalan perekonomian kita. Oleh karena itu pengarahan dan pelayanan mobilitas penduduk melalui transmigrasi yang dilaksanakan dengan memberdayakan potensi sumber daya kawasan, kiranya akan mampu menjawab ketiga akar persoalan tersebut. Melalui pemberdayaan potensi sumberdaya kawasan yang selama ini belum dimanfaatkan berarti transmigrasi akan mampu menyediakan peluang berusaha dan kesempatan bekerja bagi penduduk miskin dan penganggur terutama pada sektor-sektor perkebunan, pertanian dan sektor informal lainnya.

2. Kebutuhan integrasi nasional sebagai prasyarat berdiri tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menghadapi kebutuhan integrasi nasional, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan etnis suku bangsa cukup rentan terhadap bahaya disintegrasi. Ketimpangan antar wilayah dan antar individu yang sampai saat ini belum berhasil diatasi secara tuntas masih memerlukan serangkaian upaya penataan persebaran penduduk yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan. Menghadapi persoalan ini maka tujuan filosofis transmigrasi sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa sebagai prasyarat berdiri tegaknya Negara Kesatuan republik Indonesia tampaknya masih relevan untuk kita pertahankan, walaupun perlu penyesuaian dalam implementasinya. Berbaurnya berbagai etnis suku bangsa dalam satu pemukiman transmigrasi yang menyatu dengan desa-desa penduduk setempat, walaupun memiliki potensi konflik namun jika dikelola dengan baik justru akan mampu menjadi wahana pembentukan karakter bangsa yang Bhineka Tunggal Ika.
Memahami betapa besar persoalan bangsa yang kita hadapi serta dengan belajar dari sejarah panjang penyelenggaraan transmigrasi selama ini, maka kebijakan transmigrasi kedepan lebih diarahkan kepada hal-hal pokok sebagai berikut:
a. Regulasi transmigrasi dilaksanakan secara proposional dan berkeadilan. Artinya, fasilitasi dan pelayanan transmigasi didasarkan kepada dua pendekatan pokok, yaitu pendekatan kemampuan transmigrasi dan kondisi lokasi yang dikembangkan. Bagi masyarakat miskin yang bertransmigrasi ke wilayah–wilayah tertinggal, fasilitas pemeintah diberikan secara penuh melalui mekanisme Transmigrasi Umum (TU). Bagi masyarakat miskin yang bertransmigrasi ke wilayah yang sudah berkembang, fasilitas pemerintah Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB). Sedangkan bagi masyarakat yang tidak miskin yang bertransmigrasi ke wilayah yang telah maju dan telah tersedia infrastuktur, pemerintah hanya akan memberikan fasilitasi dan pelayanan umum melalui mekanisme Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM).

b. Transmigrasi dilaksanakan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah setempat sesuai dengan potensi yang dimiliki dan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan transmigrasi kedepan harus merupakan bentuk pembangunan gotong royong antara pemerintah daerah asal dan daerah tujuan dalam kedudukannya masing-masing sebagai daerah otonom. Sedangkan pemerintah pusat hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator serta memberikan dukungan pembiayaan yang belum mungkin ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu pembangunan trasmigrasi pasti melibatkan minimal dua daerah sebagai daerah asal dan daerah tujuan, maka pelaksanaan pembangunan transmigrasi harus didasarkan atas kerja sama antar kedua pemerintah daerah dengan dukungan dana APBD masing–masing, Dengan demikian, jika pemerintah daerah merasa membutuhkan adanya program transmigrasi di daerahnya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi, sebelumnya harus didahului dengan pernyataan masyarakat bersama pemerintah setempat yang dituangkan kedalam naskah kesepakatan bersama dan naskah pejanjian bersama.

c. Transmigrasi dilaksanakan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat bersama pemerintah setempat. Oleh karena itu dalam merancang program transmigrasi harus didasarkan kebutuhan nyata untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.

d. Pembangunan pemukiman transmigrasi diarahkan untuk (1) mempercepat pembangunan perdesaan, (2) mendorong pusat pertumbuhan yang ada maupun yang baru dan (3) menciptakan daya tarik bagi arus mobilitas penduduk yang terarah, tertib, teratur dan mandiri.

e. Transmigrasi dilaksanakan berdasarkan pendekatan mobilitas penduduk yang merupakan gejala manusiawi dan sudah ada sejak adanya peradaban manusia. Oleh karena mobilitas penduduk terjadi karena adanya reaksi atas kekurangan di tempat asal dan kelebihan di tempat tujuan, maka pembangunan pemukiman transmigrasi harus mampu memenuhi kekurangan yang ada di tempat asalnya.

Selanjutnya, untuk menghadapi pelaksanaan program trasmigrasi ke depan, arah kebijakan yang perlu ditetapkan adalah sebagai berikut :
a. Pembangunan transmigrasi harus mampu memberikan peluang untuk perluasan kesempatan kerja. Oleh karena itu, pembangunan pemukiman dan penempatan transmigrasi diprioritaskan kepada usaha pokok perkebunan, walaupun tidak mengabaikan sama sekali usaha pokok lainya.
b. Pembangunan transmigrasi harus memprioritaskan kepada penyelesaian persoalan Pemukiman Transmigrasi yang Ada (PTA). Oleh karena itu, bagi daerah–daerah yang masih menghadapi persoalan dengan PTA, agar menghindari untuk melaksanakan pembangunan Pemukiman Transmigrasi Baru (PTB).

E. Implementasi Program Transmigrasi di Kabupaten Sragen

Pada dasarnya tujuan dari penyelenggaraan program transmigrasi secara umum adalah untuk:
 Menciptakan iklim kondusif yang dapat mempercepat adaptasi calon transmigran dengan lingkungan masyarakat sekitar.
 Memberdayakan transmigran agar memerankan diri sebagai tenaga kerja produktif untuk mengembangkan potensi dilokasi pemukiman.
 Menciptakan jaminan keamanan dilokasi transmigrasi dan dapat diterima oleh penduduk setempat.

Selanjutnya, untuk memberikan bekal ketrampilan bagi calon transmigran, pemerintah daerah mengadakan pelatihan sesuai dengan kebutuhan di daerah tujuan dan bekerjasama dengan Dinas terkait di bidang Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Pertukangan.
Untuk memberikan penghidupan yang layak bagi warga Sragen yang kurang mampu, maka program transmigrasi ini harus terus diupayakan dan diberikan perlindungan sampai mereka mampu berusaha secara mandiri.

Animo masyarakat Sragen untuk menjadi peserta transmigran sebetulnya masih cukup tinggi, meskipun jumlah yang ditempatkan mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Tetapi di sisi lain, sebetulnya tingkat kemakmuran di Sragen sudah cukup bagus dan cukup tersedia lapangan pekerjaan. Di samping itu, kultur dan sosial beberapa daerah tujuan transmigrasi kurang sesuai bagi masyarakat Sragen, sehingga hal ini sering kali menjadikan kendala dalam implementasi program transmigrasi. Berdasarkan data pemberangkatan, bahwa pada tahun 2007 terdaftar calon peserta transmigran sebanyak 57 KK; 218 jiwa. Sedangkan yang dapat diberangkatkan sebanyak 20 KK; 65 jiwa dengan daerah tujuan Mahalona Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah pemberangkatan transmigran pada tahun 2007 tersebut jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum sedikit mengalami penurunan, dimana pada tahun 2006 diberangkatkan sebanyak 22 KK; 73 jiwa, pada tahun 2005 diberangkatkan sebanyak 45 KK; 151 jiwa dan tahun 2004 sebanyak 40 KK; 141 jiwa. Masalah jumlah pemberangkatan transmigrasi tersebut sebenarnya sangat terkait dengan alokasi anggaran dari pemerintah pusat yang diberikan ke pemerintah daerah yang jumlahnya sangat terbatas, sehingga masih banyak pendaftar yang masih belum dapat ditempatkan.
Pada akhir bab ini, akan disampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan program transmigrasi jangka panjang, untuk menjadikan perhatian, bahan renungan dan pemikiran kita, sehingga program transmigrasi menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bangsa, negara dan masyarakat luas, yaitu:
1. Pembangunan Permukiman Transmigrasi Baru [PTB] sebaiknya lebih diarahkan untuk kawasan besar yang memiliki skala ekonomi, sehingga memungkinkan dikembangkannya suatu komoditas unggulan yang mampu memberikan kontribusi bagi tumbuh kembangnya aktivitas sosial ekonomi masyarakat dan pertumbuhan daerah. Istilah kawasan besar bukan berarti hanya kawasan kosong yang tidak berpenduduk, tetapi juga dapat berupa pengembangan desa-desa setempat, sehingga pemberdayaannya menjadi satu kesatuan komunitas masyarakat binaan transmigrasi.
2. Perlunya pengembangan mekanisme kerjasama antar pemerintah daerah asal dan pemerintah daerah tujuan transmigrasi untuk mengantisipasi berbagai kendala dan permasalahan yang selama ini sering terjadi.
3. Dalam pemberdayaan masyarakat, sebaiknya tidak lagi memberikan input standar, tetapi harus dirancang berdasarkan hasil pemetaan kondisi riil di lapangan. Dengan demikian, program yang dikembangkan akan dapat mengantisipasi persoalan yang dihadapi serta mampu membangun komunitas masyarakat yang maju dan mandiri.
4. Dalam pengembangan transmigrasi, perlu didukung suatu penelitian dan pengembangan yang tepat dan akurat. Untuk itu, jejaring penelitian, pengembangan dan informasi ketransmigrasian harus terus dilakukan dan dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan di daerah.